Rabu, 19 Agustus 2015

PENATALAKSANAAN PERAWATAN GIGI DAN MULUT PADA ANAK EPILEPSI

PENATALAKSANAAN PERAWATAN GIGI DAN MULUT
PADA ANAK EPILEPSI

Putu Yetty Nugraha
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
E-mail: priscilla.putu@yahoo.com

ABSTRACT
Epilepsy is a condition characterized by recurrent seizures due to brain dysfunction causing brain cells to release abnormal electrical discharges. Dental and oral health satus of  epileptics patients  significantly worse than  non-epileptic, so oral care is needed especially for children to optimize the growth process. This paper is to determine the management of dental and oral care in children with epilepsy. A good treatment plan requires to avoid recurrence of epileptie seizure during the treatment. Treatment plan of children  with epilepsy are not much different from a normal child care, but  more complex treatment is needed. Pediatric patients should be positioned as comfortable as possible on the dental chair,  mouthprop is prepare  to prevent tongue biting if seizure recurrence. Directing light to the mouth should be done carefully , to avoid light crossed on the eyes of the patient, or by wearing sunglasses. In patients with uncontrolled seizures, using of general anesthesia may be considered.

Keywords: epilepsy in children, treatment, dental care and oral


PENDAHULUAN
Epilepsi dikenal sebagai salah satu penyakit tertua di dunia dan menempati urutan kedua dari penyakit syaraf setelah gangguan peredaran darah otak. Kata epilepsi berasal dari Yunani “epilambanein” yang berarti serangan. Masyarakat percaya bahwa epilepsi bukan suatu penyakit melainkan disebabkan oleh kutukan roh jahat atau akibat dari kekuatan gaib yang menimpa seseorang. Epilepsi sudah dikenal sejak 2000 tahun sebelum masehi di daratan Cina, dan Hipocrates sebagai orang pertama yang mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit. Ia menduga bahwa serangan epilepsi adalah akibat suatu penyakit otak, disebabkan oleh keadaan yang dapat dipahami dan bukan akibat kekuatan gaib.1  
Epilepsi adalah penyakit yang melibatkan kejang ditandai oleh perubahan persepsi, perilaku dan aktivitas mental maupun kontraksi otot tak sadar, perubahan kronis dalam fungsi neurologis yang dihasilkan dari aktivitas listrik abnormal di otak. Kejang epilepsi adalah reversible dan sering kambuh.2 Epilepsi termasuk dalam gangguan neurologis kronik paling umum di pediatrik neurologi, yang berdampak terhadap tumbuh–kembang anak dan etiologi utama adalah cedera pasca lahir dan kelainan kongenital. Epilepsi memiliki kecenderungan untuk kejang berulang. Sebagian besar akan memiliki epilepsi primer atau idiopatik, namun sebagian lagi akan memiliki epilepsi sekunder karena penyebab seperti cidera kepala, meningitis atau asfiksia lahir.3
Dalam profesi kedokteran gigi, pasien yang mengidap epilepsi memiliki kebutuhan khusus, seperti gangguan motorik yang menyulitkan perawatan gigi dan mulut. Pada aspek status gigi dan kesehatan rongga mulut, kondisi pasien epilepsi secara signifikan lebih buruk dari pada kelompok bukan pasien epilepsi.4 Penderita epilepsi sulit mendapatkan dokter gigi yang sanggup merawatnya. Dokter gigi menghadapi kesulitan untuk menangani dan merawat disebabkan oleh beberapa hal, pertama kurang memahami serta mendalami pengetahuan perawatan gigi penderita epilepsi, kedua menganggap kurang mampu untuk merawat penderita epilepsi secara klinis, dan ketiga timbulnya rasa cemas dan takut dari dokter gigi ketika berhadapan dengan penderita epilepsi.5
Perawatan gigi pada pasien epilepsi harus dilakukan oleh dokter gigi yang memahami pengetahuan tentang gangguan ini, sehingga pasien mendapatkan perawatan secara terpadu dan tepat. Penatalaksanaan perawatan gigi dan mulut anak penderita epilepsi pun tidak dapat diabaikan. Penulisan ini bertujuan untuk menelusuri kepustakaan mengenai penatalaksanaan perawatan gigi dan mulut pada anak epilepsi.

EPILEPSI
Epilepsi merupakan gangguan kronik di otak dengan gejala–gejala berupa serangan berulang–ulang akibat ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf) peka rangsang yang berlebihan, dan dapat menimbulkan munculnya kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis secara tiba–tiba dan sesaat menyebabkan sel-sel otak melepaskan muatan listrik abnormal.6 Bangkitan epilepsi dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, berasal dari sekelompok besar sel–sel otak, bersifat sinkron dan berirama. Istilah epilepsi tidak dapat digunakan bila bangkitan hanya terjadi 1 kali dan bangkitan yang terjadi saat penyakit akut berlangsung, contohnya bangkitan pada hipoglikemi.7

KLASIFIKASI EPILEPSI
Internasional League Against Epilepsy (ILAE) membuat klasifikasi bangkitan epilepsi yang dipergunakan sebagai standar internasional. Klasifikasi bangkitan epilepsi didasarkan atas gambaran klinis dan pola yang tampak pada electroencephalographic (EEG). Bangkitan epilepsi terbagi menjadi dua kategori yaitu bangkitan parsial dan bangkitan umum.8 Bangkitan Epilepsi Parsial. Bangkitan parsial dimulai dengan mengalirkan arus listrik abnormal pada daerah otak yang terbatas.Bangkitan parsial disubklasifikasikan oleh efeknya pada kesadaran, tanggap dan memori sebagai bangkitan epilepsi parsial sederhana (pasien dalam kondisi sadar), bangkitan epilepsi parsial kompleks (pasien mengalami penurunan kesadaran). Bangkitan ini lebih umum terjadi pada 75%-80% pasien epilepsi. Bila awal bangkitan hanya melibatkan area otak yang terbatas (lokal) maka bangkitan epilepsi disebut sebagai bangkitan parsial.
Jenis bangkitan epilepsi parsial sederhana tidak disertai gangguan atau penurunan kesadaran.Selama bangkitan berlangsung, pasien tetap sadar dan kemampuan berinteraksi dengan lingkungan luar tidak terganggu.Bangkitan parsial sederhana dapat sebagai pendahulu dari bangkitan parsial kompleks atau bangkitan umum sekunder.Bangkitan parsial sederhana dianggap sebagai suatu aura.Aura merupakan perasaan subyektif atau fenomena motorik yang mendahului dan menandai perrmulaan suatu serangan paroksismal.Gejalanya bervariasi, tergantung pada daerah otak yang terlibat dan dapat memiliki tanda–tanda motorik (gerakan bagian tubuh), tanda sensorik (visual atau perubahan penciuman), tanda–tanda psikis (ketakutan, kecemasan) atau tanda–tanda otonom (pusing, takikardia, berkeringat).
Bangkitan epilepsi parsial kompleks melibatkan bagian–bagian otak yang bertanggung jawab atas berlangsungnya kesadaran dan memori, pada umumnya melibatkan kedua belah lobus temporal atau frontal dan sistem limbik. Pasien dengan bangkitan parsial kompleks akan mengalami penurunan kesadaran serta perubahan perilaku, sensasi atau aktivitas motorik yang dapat berlangsung 30 detik sampai 2 menit. Aktivitas motorik dapat terdiri dari gerakan otomatis berulang pada wajah atau anggota badan seperti gerakan mengunyah atau menelan berulang kali, berkecap–kecap, berkomat–kamit, tingkah laku yang sulit dimengerti.
Bangkitan Epilepsi Umum melibatkan kedua belah hemisferium secara sinkron.Permulaan bangkitan berupa hilangnya kesadaran, dan diikuti gejala lain yang bervariasi. Jenis–jenis bangkitan epilepsi umum dibedakan oleh ada atau tidaknya aktivitas motorik yang khas.7 Bangkitan epilepsi umum dibagi beberapa jenis, yaitu bangkitan tonik–klonik umum (grand mal), lena (absence, petit mal), mioklonik, atonik, tonik, klonik. Jika awal bangkitan melibatkan kedua hemisferium otak maka bangkitan epilepsi disebut sebagai bangkitan umum.
Tanda klinis dari bangkitan tonik–klonik umum (grand mal) didahului oleh aura (tanda peringatan sensorik) yang berbentuk halusinasi visual, penghiduan, pendengaran dan sensorik lainnya, serta diikuti dengan hilangnya kesadaran pasien.Pada tahap tonik, otot–otot menjadi kaku dan kontraksi diafragma serta otot–otot dada dapat mengakibatkan timbulnya epileptic cry. Bola mata berputar ke atas atau melirik ke satu sisi dan lidah dapat tergigit. Regiditas segera berganti menjadi gerakan klonik secara sinkron yang melibatkan kepala, wajah, lengan dan tungkai juga dapat terjadi perubahan otonomik seperti kenaikan tekanan darah, denyut jantung dan tekanan vesika urinaria.7
Bangkitan lena (absence, petit mal) berlangsung pada episode yang singkat serta mengalami penurunan kesadaran. Tidak terjadi aura dan pasien akan memiliki episode singkat menetap, biasanya berlangsung 10 detik serta dikaitkan dengan berkedip serta gerakan otomatis tangan atau mulut dan perubahan otonom seperti pucat, takikardi dan berliur. Bangkitan ini biasanya terjadi pada anak dengan jenis kejang yang lain, kecerdasan lebih rendah dari rata–rata dan buruknya kontrol epilepsi.9
Karakteristik bangkitan mioklonik bersifat mendadak, singkat, berupa kedutan otot atau sekelompok otot. Bangkitan ini terjadi pada berbagai jenis sindrom epilepsi.7 Bangkitan atonik manifestasinya berupa hilangnya tonus otot secara total dan mendadak disertai hilangnya kontrol postur tubuh. Bangkitan klonik yaitu berirama, gerakan menyentak pada bagian tubuh seperti lengan atau kaki.Bangkitan ini sering terjadi pada pasien epilepsi fokal.9 Bangkitan tonik berlangsung kurang dari 20 detik dan muncul lebih sering saat penderita tidur.Dicirikan oleh pengkakuan bilateral secara mendadak pada tubuh, lengan atau tungkai. Dijumpai terutama pada anak berusia muda, biasanya berhubungan gangguan metabolik atau defisit neurologik.7

ETIOLOGI EPILEPSI
Penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu epilepsi primer dan epilepsi sekunder. Epilepsi primer atau epilepsi idiopatik yang penyebabnya tidak diketahui, meliput ±50% dari penderita epilepsi anak. Penderita biasanya pada usia lebih dari 3 tahun. Pada epilepsi primer, tidak dapat ditemukan  kelainan pada jaringan otak. Diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel–sel saraf pada area jaringan otak abnormal, penyebab suatu kelainan kimiawi yang hanya terjadi sewaktu–waktu dan menyerang orang   orang tertentu belum diketahui.1 Epilepsi sekunder atau epilepsi simptomatik yang penyebabnya sangat bervariasi, bergantung pada usia penderita. Epilepsi sekunder gejala yang timbul ialah sekunder atau akibat dari adanya kelainan pada jaringan otak. Biasanya dengan pemeriksaan tertentu atau CT Scan otak dan autopsi dapat dilihat adanya kelainan struktural di otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai kerusakan otak pada waktu lahir atau saat masa perkembangan anak.1
Etiologi epilepsi menurut kelompok usia yaitu:10 Kelompok usia 0 – 6 bulan, meliputi (a) Kelainan intra – uterin, dapat disebabkan oleh gangguan migrasi dan diferensiasi sel neuron; (b) Kelainan selama persalinan berhubungan dengan asfiksia dan perdarahan intrakranial; (c) Kelainan kongenital, dapat disebabkan oleh kromosom abnormal, radiasi, obat – obat teratogenik; (d) Gangguan metabolik: misalnya hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia dan defisiensi piridoksin; (e) Infeksi susunan saraf pusat, misalnya meningitis, ensefalitis, atau timbul kemudian sebagai akibat dari pembentukan jaringan parut dan hidrosefalus pasca infeksi.
Epilepsi juga terjadi pada kelompok usia 6 bulan – 3 tahun. Selain penyebab yang sama dengan kelompok usia 0–6 bulan, padausia ini dapat juga disebabkan oleh kejang demam dimulai usia 6 bulan, terutama golongan kejang demam komplikasi. Pada kelompok anak – anak sampai remaja, disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, parasit dan abses otak yang frekuensinya meningkat sampai 32% setelah tindakan operasi. Pada kelompok usia muda, cedera kepala merupakan penyebab tersering pada kelompok ini, disusul oleh tumor otak dan infeksi. Kelompok usia lanjut Gangguan pembuluh darah otak merupakan penyebab tersering pada usia di atas 50 tahun, mencapai 50% diikuti oleh trauma, tumor dan degenerasi serebral.

TERAPI EPILEPSI
Terapi epilepsi dibagi menjadi 2 macam, yaitu terapi non farmakologi dan terapi farmakologi.7Terapi non farmakologi terdiri dari diet ketogenik, tindakan bedah dan stimulasi nervus vagus.Diet ketogenik adalah diet dengan kandungan tinggi lemak dan rendah karbohidrat serta protein sehingga memicu keadaan ketosis.Diet ini mengandung 2-4 gram lemak untuk setiap kombinasi 1 gram karbohidrat dan protein.Melalui diet ketogenik, lemak menjadi sumber energi dan keton terakumulasi di dalam otak sehingga menjadi tinggi kadarnya (ketosis).Keadaan ketosis dipercaya dapat menghasilkan efek antikonvulsi, yang mampu menurunkan simptom epilepsi dengan mengurangi frekuensi dan derajat kejang. Pada anak-anak, diet ini dirasakan lebih efektif dibandingkan orang dewasa, khususnya saat obat antikolvusan tidak bekerja secara efektif atau menjadi kontraindikasi.11 Terapi bedah saraf dipertimbangkan untuk pasien dengan epilepsi terus-menerus, refrakter terhadap dosis maksimal antikonvulsan terutama pada pasien dengan lokasi onset kejang yang jelas. Semua kasus epilepsi, terapi bedah hanya dilakukan pada pasien-pasien terpilih, dinilai oleh pusat studi saraf (neuroscience), termasuk penentuan fungsi jaringan yang akan dihilangkan.12 Stimulasi nervus vagus merupakan salah satu alternatif untuk meredakan bangkitan pada epilepsi yang tidak memungkinkan untuk dilakukan tindakan bedah. Pengamatan pemberian stimulasi pada nervus vagus memperlihatkan efek antikonvulsan secara statistik.7
Terapi farmakologi memiliki beberapa prinsip pelaksanaan, yaitu obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun.Selain itu pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut.Terapi dimulai dengan pemberian obat tunggal atau monoterapi.Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan secara bertahap sampai dengan dosis efektif tercapai. Penggunaan OAE pertama yang telah mencapai dosis maksimum tetapi tidak dapat mengontrol bangkitan akan dilakukan penambahan OAE kedua, jika sudah mencapai dosis terapi maka dosis OAE pertama diturunkan secara perlahan. Penambahan OAE ketiga dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua.13 Pada anak-anak pemberian obat-obat anti epilepsi berbeda dengan orang dewasa, karena terdapat variasi antar pasien dan intrapasien serta membutuhkan dosis yang relatif lebih besar.10

Tabel 1.  Data farmakologik OAE1
Nama obat
Jenis
serangan
Dosis
(mg/kg/hari)
Kadar
dalam serum
(ug/ml)
Waktu paruh
(jam)
Fenobarbital
Fenitoin
Karbamazepin
Valproat
Klonazepam
Primidon
P & KU
P & KU
P & KU
Semua
A & M
P & KU
2-4
3-8
15-25
15-60
0.03-0.30
10-20
15-40
10-30
8-12
50-100
0.01-0.05
5-15
96
24
12
14
30
12
Ket:  P=parsial, K =kejang umum, A=absence, M=myoklonik

Tabel 2. Obat antiepilepsi untuk anak 10
Nama obat
Dosis
(mg/kg)
Kadar
dalam serum
(ug/ml)
Waktu paruh
(jam)
Fenobarbital
Karbamazepine
Difenilhidantoin
Valproat
Etosuksimid
1–5
15-25
4-12
10-70
10-70
10-20
4-12
10-20
50-100
45-100
10-150
4-12
10-20
50-100
45-100

MANIFESTASI OBAT ANTI EPILEPSI DI DALAM RONGGA MULUT ANAK
Dalam studi kontrol, frekuensi manifestasi dari obat anti epilepsi dari intensitas ringan hingga sedang (0,1-1% pada anak-anak) atau sangat jarang (kurang dari 0,1% pada anak-anak). Obat yang paling umum digunakan dalam pengobatan epilepsi adalah karbamazepine, valproat, fenitoin, fenobarbital, lamotrigin dan gabapentin.10Penggunaan karbamazepine dijumpai dari pasien 3% yangmengalami gastrointestinal, xerostomia, stomatitis atau glositis dan gingivitis.14
Manifestasi OAE dalam rongga mulut juga ditunjukkan oleh fenitoin. Diperkirakan 13%-50% pasien mengalami pembesaran gingiva  dari efek toksik fenitoin. Pembesaran gingiva terjadi 2-3 bulan pertama dari awal pengobatan dan berlangsung selama 12 bulan kedepan. Pasien muda dengan kebersihan rongga mulut yang buruk serta tingginya dosis obat mungkin mengalami efek ini. Selain pembesaran gingiva, anak yang mengkonsumsi fenitoin kemungkinan memiliki gigi yang lebih kecil, terlambat erupsi gigi sulung dan gigi permanen serta resorpsi akar. Mekanisme dari pembesaran gingiva merupakan perubahan fungsi fibroblas yang mengalami proliferasi jaringan ikat gingiva (kolagen) terutama disebabkan oleh plak gigi.15 OAE jenis fenobarbital dan velproat akan memberikan manifestasi berupa xerostomia, stomatitis dan gingivitis. Jenis gabapentin diketahui menyebabkan glositis, perdarahan gingiva, stomatitis dan hipersalivasi.16

KONDISI GIGI DAN MULUT ANAK PENDERITA EPILEPSI

Pasien dengan bangkitan epilepsi yang tidak terkontrol dan frekuensi bangkitan tonik-klonik umum menunjukkan kesehatan rongga mulut yang kurang dibandingkan pasien dengan bangkitan yang terkontrol atau hanya mengalami kejang tanpa melibatkan sistem pengunyah. Jumlah gigi berlubang, gigi hilang karena dicabut, tingkat abrasi, indeks periodontal dan terabaikannya perawatan gigi secara signifikan ditunjukkan oleh pasien epilepsi.17 Bangkitan yang terjadi dapat menimbulkan trauma pada wajah serta rongga mulut pasien epilepsi.Trauma dentofasial yang terjadi saat bangkitan berlangsung dilaporkan dapat menyebabkan luka pada lidah, mukosa bukal (Gambar 3), fraktur wajah, avulsi gigi, dan subluksasi sendi temporomandibular. Sebuah penelitian di Brazil, menunjukkan trauma rongga mulut terbanyak pada pasien epilepsi adalah terjadinya fraktur mahkota gigi (Gambar 1), kemudian avulsi gigi, luksasi gigi (Gambar 2), fraktur gigi tiruan pada pasien yang edentulous, dan fraktur mahkota gigi tiruan. Bangkitan tonik-klonik umum dapat menyebabkan cedera mulut minor, seperti lidah tergigit, cedera gigi dan trauma maksilofasial.4 Cedera yang disebabkan akibat jatuh, seperti fraktur mandibula sering terjadi pada pasien yang mengalami kejang atonik.
Gambar 1.Fraktur mahkota pada gigi anak.17

Gambar 2. Luksasi ke arah bukal pada gigi anak.17
Gambar 3. Trauma pada mukosa mulut.19

Kondisi gigi dan mulut pasien epilepsi tidak mengalami suatu kelainan khusus yang disebabkan oleh penyakit epilepsi, melainkan karena efek samping dari mengkonsumsi obat anti epilepsi. Sebagian besar obat anti epilepsi memiliki efek samping berupa xerostomia, seperti karbamazepine, fenobarbital dan velproat.Hal ini menyebabkan berkurangnya self cleansing sehingga terjadi penumpukan plak yang dapat mengakibatkan terjadinya karies. Obat anti epilepsi yang dikonsumsi oleh pasien anak umumnya berupa sirup dan berbasis sukrosa. Penggunan obat anti epilepsi berbasis sukrosa dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya karies rampan pada anak (Gambar 4).20 Penggunaan obat anti epilepsi juga mengakibatkan terjadinya aftosa rekuren berulang seperti ulserasi (Gambar 5).21

Masalah dermatologi dapat muncul pada pasien yang mengkonsumsi obat anti epilepsi yaitu terjadinya ruam (Gambar 7). Antara 5%-7% dari pasien yang menggunakan fenitoin dan 5% - 17% menggunakan karbamazepin mengalami ruam. Obat anti epilepsi jenis lamotrigin diketahui memiliki resiko tinggi yang dapat menyebabkan ruam pada anak-anak yaitu  18.2%. Sebagian besar obat anti epilepsi menimbulkan ruam yang tidak berbahaya, tetapi ada yang menyebabkan ruam yang serius, seperti terjadinya sindrom Steven-Johnson. Keadaan sindrom Steven-Johnson merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata dengan keadaaan umum bervariasi dari ringan hingga berat. Penyebab umum sindrom ini berkaitan dengan respon imun tubuh terhadap obat anti epilepsi.4

Gambar 4.Karies rampan gigi sulung pada anak epilepsy.20


Gambar 5. Ulserasi aftosa rekuren pada anak.19

Gambar 6. Pembesaran gingiva pada anak epilepsi yang mengkonsumsi fenitoin.3

Gambar 7. Terdapat ruam pada anak Steven-Johnson sindrom.19

PEMBAHASAN
Keberhasilan perawatan gigi pada anak selain ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan dokter gigi juga ditentukan oleh sikap kooperatif anak selama proses perawatan. Sebelum memulai perawatan sangat dianjurkan untuk dokter gigi melakukan pendekatan kepada pasien anak yang bertujuan untuk mengurangi rasa takut atau stres. Stres merupakan salah satu faktor pencetus terpenting yang dapat menyebabkan bangkitan epilepsi. Stres harus diminimalkan sebelum memulai perawatan. Hal ini dapat dilakukan dengan tehnik komunikasi verbal dan non verbal yang baik. Komunikasi verbal yang baik dapat mempengaruhi kecemasan anak. Perlu bagi dokter gigi untuk memilih kata yang baik, seperti “mengebur” diganti dengan “membersihkan kuman”; “dianastesi” dengan topikal anastesi diganti dengan kata “diberi vitamin”. Sedangkan komunikasi non verbal meliputi mimik dan sikap dokter gigi, sikap ramah dan santun selalu dilakukan agar anak merasa nyaman.22
Serangan bangkitan epilepsi dapat kambuh secara mendadak pada saat dilakukan perawatan gigi dan mulut, maka penanggulangan yang dapat dokter gigi lakukan yaitu menghentikan perawatan, mengeluarkan instrumen dari mulut pasien, mengatur  dental chair pada posisi terlentang, melonggarkan pakaian pasien yang ketat, memantau pasien untuk memastikan jalan napas tidak terhalang, tidak menahan tubuh pasien, serta tidak memasukkan jari kedalam mulut pasien karena beresiko tergigit. Pemberian obat diperlukan pada pasien dengan kekambuhan bangkitan yang berlangsung lebih dari 3 menit dan berulang, jika bangkitan berlangsung lama dan berlanjut meskipun sudah diberi obat, pasien harus dibawa ke rumah sakit.4

SIMPULAN
Penatalaksanaan perawatan gigi dan mulut pada anak epilepsi untuk menghindari kambuhnya bangkitan saat dilakukan perawatan. Perawatan pada pasien epilepsi tidak banyak berbeda dengan perawatan anak normal dengan tatalaksana yang lebih komplek. Pada saat  memberikan perawatan, pasien anak harus diposisikan senyaman mungkin di atas dental chair. Mengarahkan cahaya ke mulut anak harus dilakukan hati-hati agar tidak terlintas di mata pasien, atau pasien dapat dibantu dengan mengenakan kacamata. Pada pasien dengan bangkitan yang tidak terkontrol, penggunaan anastesi umum dapat dipertimbangkan.
Serangan bangkitan epilepsi dapat kambuh secara mendadak pada saat dilakukan perawatan gigi dan mulut, maka penanggulangan yang dapat dokter gigi lakukan yaitu menghentikan perawatan, mengeluarkan instrumen dari mulut pasien, memantau pasien untuk memastikan jalan napas tidak terhalang. Jika bangkitan berlangsung lama dan berlanjut, pasien harus dibawa ke rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA        
1.     Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Buku Ajar Neurologi Klinis. Ed. Ke-5 Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2011; 119-121,145-150.
2.     Mehmet, Yaltirik, Senem, Özer, Sülün, Tonguç,  Hümeyra, Kocaelli. ‘Management of epileptic patients in dentistry’,Surgical Science, 2012; 3: 47-52.
3.     Gurbuz, T. Epilepsy and Oral Health, Dalam Novel aspects on epilepsy. Prof. Humberto Foyaca-Sibat, Ed. Ke-1.Intech, Rijeka, 2011; 157-170.
4.     Aragon, C. E., Burneo, J. G.‘Understanding the patient withepilepsy and seizures in the dental practice’, JCDA, 2007; 73(1):71-76.
5.     Udi, R. ‘Multiple ekstraksi gigi pada anak’, Sains Medika, 2009; 1(1):1.
6.     World Health Organization. Oktober 25-last update, Epilepsy [Homepage ofWorld Health Organization], [Online]; 2009. Available: http://www.who.int/mediacentre/factshets/fs999/en/ [27 Oktober 2014].
7.     Harsono. Epilepsi. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta, 2007; 2: 1-35.
8.     Internasional League Against Epilepsy (ILAE). ‘Proposal for revised clinical and electrographic classification of epileptic seizures’. Epilepsia. Vol.30, no. 4; 1981;389-399.
9.     Robbins, M. R.‘Dental management of special needs patients who have epilepsy’. Dental Clinics Of  North America. Vol. 53, no. 2;  2009; 295-309.
10. Tjahjadi, Petrus, Dikot, Yustiani, Gunawan, Dede. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. Dalam Kapita  Selekta Neurologi, Harsono (ed.), Ed. Ke-2.Gadjah Mada University Press. 2009; 119-132.
11. Yayasan Epilepsi Indonesia, Oktober 20-last update, Diet Ketogenik Sebagai Terapi Epilepsi [Homepage of Yayasan Epilepsi Indonesia and Club Epsi], [online]; 2012.Available: http://www.ina-epsy.org/2012/04/diet katogenik-sebagaiterapi-epilepsi.html [27 Oktober 2014].
12. Ginsberg, Lionel. Neurologi. Penerjemah: dr. Indah Retno Wardhani.Erlangga, Jakarta. 2008; 79-88.
13. Sutan, A. Pasien epilepsi dan hiperplasia gingiva. February 22-last update, [Homepage ofBlogspot], [Online]. 2012; Avaible: http://chakraproject. blogspot.com/2012/02/file-06-pasien-epilepsi-dan hiperplasia.html [27 Oktober 2014].
14. Wyllie E. The Treatment of Epilepsy. Principles and Practice. Ed.2. 1997; 122-124. Baltimore: Williams & Wilkins.
15. Casetta I, Granieri E, Desiderá M, Monetti VC, Tola MR, Paolino E, et al. ‘Phenytoin-induced gingival overgrowth: a communitybased cross sectional study in Ferrara, Italy’, Neuroepidemiologi, vol.6, no. 6; 1997; 296-303.
16. Jovanovic, Svetlana, Gajić, Ivanka, Radivojević, Vlada.‘Risk factors fororal changes in childern with epilepsy – Informative Article’, Serbian Dental Journal; (56): 1. 2009; 33-36.
17. Karolyhazy, K., Kivovics, P., Fejerdy, P. Dan Aranyi, Z.‘Prosthodonticstatus and recommended care of patients with epilepsy’, J Prosthet Dent: (93): 2. 2005; 177-182.
18. Riyanti, Erika. ‘Penatalaksanaan trauma gigi pada anak.  2007; 14, 16.
19. Cameron, Angus C., Widmer, Richard P. Handbook of Pediatric Dentistry, Ed. Ke. 2; 2005; 148-151. Mosby., Philadelphia.
20. Welbury, Richard R., Duggal, Monty S., Hosey M.T. Paediatric Dentistry,Ed.Ke-3.Oxford; 2005.
21. Johnstone, S.C., Barnard, K.M. dan Harrison,V.E. Recognizing and caring for the medically compromised child: Childern with other chronic medicalconditions, Dent Update, vol.26, no.1;  1999; 21-26.

22. Bakar, A. Kedokteran Gigi Klinis. Quantum Sinergis Media.Yogyakarta; 2011; 93, 144

1 komentar:

  1. Terimakasih artikelnya bagus.
    Saya juga mau informasikan tentang obat epilepsi bila anda minat klik Terimakasih artikelnya bagus.
    Saya juga mau informasikan tentang Obat Epilepsi

    BalasHapus