PENATALAKSANAAN PERAWATAN GIGI DAN MULUT
PADA ANAK EPILEPSI
Putu
Yetty Nugraha
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
E-mail: priscilla.putu@yahoo.com
ABSTRACT
Epilepsy is a condition
characterized by recurrent seizures due to brain dysfunction causing brain
cells to release abnormal electrical discharges. Dental and oral health satus
of epileptics patients significantly worse than non-epileptic, so oral care is needed
especially for children to optimize the growth process. This paper is to
determine the management of dental and oral care in children with epilepsy. A
good treatment plan requires to avoid recurrence of epileptie seizure during
the treatment. Treatment plan of children
with epilepsy are not much different from a normal child care, but more complex treatment is needed. Pediatric
patients should be positioned as comfortable as possible on the dental
chair, mouthprop is prepare to prevent tongue biting if seizure
recurrence. Directing light to the mouth should be done carefully , to avoid
light crossed on the eyes of the patient, or by wearing sunglasses. In patients
with uncontrolled seizures, using of general anesthesia may be considered.
Keywords: epilepsy in
children, treatment, dental care and
oral
PENDAHULUAN
Epilepsi dikenal sebagai salah satu
penyakit tertua di dunia dan menempati urutan kedua dari penyakit syaraf
setelah gangguan peredaran darah otak. Kata epilepsi
berasal dari Yunani “epilambanein” yang berarti serangan. Masyarakat
percaya bahwa epilepsi bukan suatu penyakit melainkan disebabkan oleh kutukan
roh jahat atau akibat dari kekuatan gaib yang menimpa seseorang. Epilepsi
sudah dikenal sejak 2000 tahun sebelum masehi di daratan Cina, dan Hipocrates
sebagai orang pertama yang mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit. Ia
menduga bahwa serangan epilepsi adalah akibat suatu penyakit otak, disebabkan
oleh keadaan yang dapat dipahami dan bukan akibat kekuatan gaib.1
Epilepsi adalah penyakit yang melibatkan
kejang ditandai oleh perubahan persepsi, perilaku dan aktivitas mental maupun
kontraksi otot tak sadar, perubahan kronis dalam fungsi neurologis yang
dihasilkan dari aktivitas listrik abnormal di otak. Kejang epilepsi adalah
reversible dan sering kambuh.2 Epilepsi termasuk dalam gangguan neurologis
kronik paling umum di pediatrik neurologi, yang berdampak terhadap
tumbuh–kembang anak dan etiologi utama adalah cedera pasca lahir dan kelainan
kongenital. Epilepsi
memiliki kecenderungan untuk kejang berulang. Sebagian besar akan memiliki
epilepsi primer atau idiopatik, namun sebagian lagi akan memiliki epilepsi
sekunder karena penyebab seperti cidera kepala, meningitis atau asfiksia lahir.3
Dalam profesi kedokteran gigi, pasien
yang mengidap epilepsi memiliki kebutuhan khusus, seperti gangguan motorik yang
menyulitkan perawatan gigi dan mulut. Pada aspek
status gigi dan kesehatan rongga mulut, kondisi pasien epilepsi secara
signifikan lebih buruk dari pada kelompok bukan pasien epilepsi.4
Penderita epilepsi sulit mendapatkan dokter gigi yang sanggup merawatnya.
Dokter gigi menghadapi kesulitan untuk menangani dan merawat disebabkan oleh
beberapa hal, pertama kurang memahami serta mendalami pengetahuan perawatan
gigi penderita epilepsi, kedua menganggap kurang mampu untuk merawat penderita
epilepsi secara klinis, dan ketiga timbulnya rasa cemas dan takut dari dokter
gigi ketika berhadapan dengan penderita epilepsi.5
Perawatan gigi pada pasien epilepsi
harus dilakukan oleh dokter gigi yang memahami pengetahuan tentang gangguan
ini, sehingga pasien mendapatkan perawatan secara terpadu dan tepat. Penatalaksanaan
perawatan gigi dan mulut anak penderita epilepsi pun tidak dapat diabaikan. Penulisan
ini bertujuan untuk menelusuri kepustakaan mengenai penatalaksanaan perawatan
gigi dan mulut pada anak epilepsi.
EPILEPSI
Epilepsi merupakan gangguan kronik di
otak dengan gejala–gejala berupa serangan berulang–ulang akibat ketidaknormalan
kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada
neuron (sel saraf) peka rangsang yang berlebihan, dan dapat menimbulkan
munculnya kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis secara tiba–tiba dan
sesaat menyebabkan sel-sel otak melepaskan muatan listrik abnormal.6 Bangkitan
epilepsi dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak
dan sepintas, berasal dari sekelompok besar sel–sel otak, bersifat sinkron dan
berirama. Istilah epilepsi tidak dapat digunakan bila bangkitan hanya terjadi 1
kali dan bangkitan yang terjadi saat penyakit akut berlangsung, contohnya
bangkitan pada hipoglikemi.7
KLASIFIKASI EPILEPSI
Internasional League Against Epilepsy
(ILAE) membuat klasifikasi bangkitan epilepsi yang dipergunakan sebagai standar
internasional. Klasifikasi bangkitan epilepsi didasarkan atas gambaran klinis
dan pola yang tampak pada electroencephalographic
(EEG). Bangkitan epilepsi terbagi menjadi dua kategori yaitu bangkitan parsial
dan bangkitan umum.8 Bangkitan Epilepsi Parsial. Bangkitan
parsial dimulai dengan mengalirkan arus listrik abnormal pada daerah otak yang
terbatas.Bangkitan parsial disubklasifikasikan oleh efeknya pada kesadaran,
tanggap dan memori sebagai bangkitan epilepsi parsial sederhana (pasien dalam
kondisi sadar), bangkitan epilepsi parsial kompleks (pasien mengalami penurunan
kesadaran). Bangkitan ini lebih umum terjadi pada 75%-80% pasien epilepsi. Bila
awal bangkitan hanya melibatkan area otak yang terbatas (lokal) maka bangkitan
epilepsi disebut sebagai bangkitan parsial.
Jenis bangkitan epilepsi parsial
sederhana tidak disertai gangguan atau penurunan kesadaran.Selama bangkitan
berlangsung, pasien tetap sadar dan kemampuan berinteraksi dengan lingkungan
luar tidak terganggu.Bangkitan parsial sederhana dapat sebagai pendahulu dari
bangkitan parsial kompleks atau bangkitan umum sekunder.Bangkitan parsial
sederhana dianggap sebagai suatu aura.Aura merupakan perasaan subyektif atau
fenomena motorik yang mendahului dan menandai perrmulaan suatu serangan
paroksismal.Gejalanya bervariasi, tergantung pada daerah otak yang terlibat dan
dapat memiliki tanda–tanda motorik (gerakan bagian tubuh), tanda sensorik
(visual atau perubahan penciuman), tanda–tanda psikis (ketakutan, kecemasan)
atau tanda–tanda otonom (pusing, takikardia, berkeringat).
Bangkitan epilepsi parsial kompleks
melibatkan bagian–bagian otak yang bertanggung jawab atas berlangsungnya
kesadaran dan memori, pada umumnya melibatkan kedua belah lobus temporal atau
frontal dan sistem limbik. Pasien dengan bangkitan parsial kompleks akan
mengalami penurunan kesadaran serta perubahan perilaku, sensasi atau aktivitas
motorik yang dapat berlangsung 30 detik sampai 2 menit. Aktivitas motorik dapat
terdiri dari gerakan otomatis berulang pada wajah atau anggota badan seperti
gerakan mengunyah atau menelan berulang kali, berkecap–kecap, berkomat–kamit,
tingkah laku yang sulit dimengerti.
Bangkitan Epilepsi Umum melibatkan
kedua belah hemisferium secara sinkron.Permulaan bangkitan berupa hilangnya
kesadaran, dan diikuti gejala lain yang bervariasi. Jenis–jenis bangkitan
epilepsi umum dibedakan oleh ada atau tidaknya aktivitas motorik yang khas.7
Bangkitan epilepsi umum dibagi beberapa jenis, yaitu bangkitan tonik–klonik
umum (grand mal), lena (absence, petit mal), mioklonik, atonik, tonik, klonik. Jika
awal bangkitan melibatkan kedua hemisferium otak maka bangkitan epilepsi disebut
sebagai bangkitan umum.
Tanda klinis dari bangkitan tonik–klonik
umum (grand mal) didahului oleh aura
(tanda peringatan sensorik) yang berbentuk halusinasi visual, penghiduan,
pendengaran dan sensorik lainnya, serta diikuti dengan hilangnya kesadaran pasien.Pada
tahap tonik, otot–otot menjadi kaku dan kontraksi diafragma serta otot–otot
dada dapat mengakibatkan timbulnya epileptic
cry. Bola
mata berputar ke atas atau melirik ke satu sisi dan lidah dapat tergigit.
Regiditas segera berganti menjadi gerakan klonik secara sinkron yang melibatkan
kepala, wajah, lengan dan tungkai juga dapat terjadi perubahan otonomik seperti
kenaikan tekanan darah, denyut jantung dan tekanan vesika urinaria.7
Bangkitan lena (absence, petit mal) berlangsung pada episode yang singkat serta
mengalami penurunan kesadaran. Tidak terjadi aura dan pasien akan memiliki
episode singkat menetap, biasanya berlangsung 10 detik serta dikaitkan dengan
berkedip serta gerakan otomatis tangan atau mulut dan perubahan otonom seperti
pucat, takikardi dan berliur. Bangkitan ini biasanya terjadi pada anak dengan
jenis kejang yang lain, kecerdasan lebih rendah dari rata–rata dan buruknya
kontrol epilepsi.9
Karakteristik bangkitan mioklonik
bersifat mendadak, singkat, berupa kedutan otot atau sekelompok otot. Bangkitan
ini terjadi pada berbagai jenis sindrom epilepsi.7 Bangkitan atonik
manifestasinya berupa hilangnya tonus otot secara total dan mendadak disertai
hilangnya kontrol postur tubuh. Bangkitan klonik yaitu berirama, gerakan
menyentak pada bagian tubuh seperti lengan atau kaki.Bangkitan ini sering
terjadi pada pasien epilepsi fokal.9 Bangkitan tonik berlangsung
kurang dari 20 detik dan muncul lebih sering saat penderita tidur.Dicirikan
oleh pengkakuan bilateral secara mendadak pada tubuh, lengan atau tungkai.
Dijumpai terutama pada anak berusia muda, biasanya berhubungan gangguan
metabolik atau defisit neurologik.7
ETIOLOGI EPILEPSI
Penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 2
kelompok yaitu epilepsi primer dan epilepsi sekunder. Epilepsi primer
atau epilepsi idiopatik yang penyebabnya tidak diketahui,
meliput ±50% dari penderita
epilepsi anak. Penderita biasanya pada usia lebih
dari 3 tahun. Pada
epilepsi primer, tidak dapat ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga bahwa
terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel–sel saraf
pada area jaringan
otak abnormal, penyebab suatu kelainan kimiawi yang hanya terjadi sewaktu–waktu
dan menyerang orang orang tertentu
belum diketahui.1 Epilepsi sekunder atau epilepsi
simptomatik yang penyebabnya sangat bervariasi, bergantung pada usia penderita. Epilepsi
sekunder gejala yang timbul ialah sekunder atau akibat dari adanya kelainan
pada jaringan otak. Biasanya dengan pemeriksaan tertentu atau CT Scan otak dan
autopsi dapat dilihat adanya kelainan struktural di otak. Kelainan ini dapat
disebabkan karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai
kerusakan otak pada waktu lahir atau saat masa perkembangan anak.1
Etiologi epilepsi menurut kelompok usia yaitu:10 Kelompok
usia 0 – 6 bulan, meliputi (a) Kelainan intra – uterin, dapat
disebabkan oleh gangguan migrasi dan diferensiasi sel neuron; (b) Kelainan selama persalinan berhubungan dengan asfiksia
dan perdarahan intrakranial; (c) Kelainan
kongenital, dapat disebabkan oleh kromosom abnormal, radiasi, obat – obat teratogenik; (d) Gangguan metabolik: misalnya hipoglikemia,
hipokalsemia, hiponatremia dan defisiensi piridoksin; (e) Infeksi
susunan saraf pusat, misalnya meningitis, ensefalitis, atau timbul kemudian
sebagai akibat dari pembentukan
jaringan parut dan hidrosefalus pasca infeksi.
Epilepsi
juga terjadi pada kelompok
usia 6 bulan – 3 tahun. Selain penyebab
yang sama dengan kelompok usia 0–6 bulan, padausia ini dapat juga disebabkan oleh kejang
demam dimulai usia 6 bulan, terutama golongan kejang
demam komplikasi. Pada kelompok anak –
anak sampai remaja, disebabkan oleh
infeksi virus, bakteri, parasit dan abses otak yang frekuensinya meningkat
sampai 32% setelah tindakan operasi. Pada kelompok usia
muda, cedera
kepala merupakan penyebab tersering pada kelompok ini, disusul
oleh tumor otak dan infeksi. Kelompok
usia lanjut Gangguan
pembuluh darah otak merupakan penyebab tersering pada usia di
atas 50 tahun, mencapai
50% diikuti oleh trauma, tumor dan degenerasi serebral.
TERAPI EPILEPSI
Terapi epilepsi dibagi menjadi 2 macam,
yaitu terapi non farmakologi dan terapi farmakologi.7Terapi non
farmakologi terdiri dari diet ketogenik, tindakan bedah dan stimulasi nervus
vagus.Diet ketogenik adalah diet dengan kandungan tinggi lemak dan rendah
karbohidrat serta protein sehingga memicu keadaan ketosis.Diet ini mengandung
2-4 gram lemak untuk setiap kombinasi 1 gram karbohidrat dan protein.Melalui
diet ketogenik, lemak menjadi sumber energi dan keton terakumulasi di dalam
otak sehingga menjadi tinggi kadarnya (ketosis).Keadaan ketosis dipercaya dapat
menghasilkan efek antikonvulsi, yang mampu menurunkan simptom epilepsi dengan
mengurangi frekuensi dan derajat kejang. Pada anak-anak, diet ini dirasakan
lebih efektif dibandingkan orang dewasa, khususnya saat obat antikolvusan tidak
bekerja secara efektif atau menjadi kontraindikasi.11 Terapi bedah
saraf dipertimbangkan untuk pasien dengan epilepsi terus-menerus, refrakter
terhadap dosis maksimal antikonvulsan terutama pada pasien dengan lokasi onset
kejang yang jelas. Semua kasus epilepsi, terapi bedah hanya dilakukan pada
pasien-pasien terpilih, dinilai oleh pusat studi saraf (neuroscience), termasuk penentuan fungsi jaringan yang akan
dihilangkan.12 Stimulasi nervus vagus merupakan salah satu
alternatif untuk meredakan bangkitan pada epilepsi yang tidak memungkinkan
untuk dilakukan tindakan bedah. Pengamatan pemberian stimulasi pada nervus
vagus memperlihatkan efek antikonvulsan secara statistik.7
Terapi farmakologi memiliki beberapa
prinsip pelaksanaan, yaitu obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan bila
diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam
setahun.Selain itu pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi
penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan
tersebut.Terapi dimulai dengan pemberian obat tunggal atau monoterapi.Pemberian
obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan secara bertahap sampai dengan
dosis efektif tercapai. Penggunaan OAE pertama yang telah mencapai dosis maksimum
tetapi tidak dapat mengontrol bangkitan akan dilakukan penambahan OAE kedua,
jika sudah mencapai dosis terapi maka dosis OAE pertama diturunkan secara
perlahan. Penambahan OAE ketiga dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak
terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua.13 Pada
anak-anak pemberian obat-obat anti epilepsi berbeda dengan orang dewasa, karena
terdapat variasi antar pasien dan intrapasien serta membutuhkan dosis yang
relatif lebih besar.10
Tabel 1. Data farmakologik
OAE1
Nama obat
|
Jenis
serangan
|
Dosis
(mg/kg/hari)
|
Kadar
dalam serum
(ug/ml)
|
Waktu paruh
(jam)
|
Fenobarbital
Fenitoin
Karbamazepin
Valproat
Klonazepam
Primidon
|
P & KU
P & KU
P & KU
Semua
A & M
P & KU
|
2-4
3-8
15-25
15-60
0.03-0.30
10-20
|
15-40
10-30
8-12
50-100
0.01-0.05
5-15
|
96
24
12
14
30
12
|
Ket: P=parsial, K
=kejang umum, A=absence, M=myoklonik
Tabel 2. Obat
antiepilepsi untuk anak 10
Nama obat
|
Dosis
(mg/kg)
|
Kadar
dalam serum
(ug/ml)
|
Waktu paruh
(jam)
|
Fenobarbital
Karbamazepine
Difenilhidantoin
Valproat
Etosuksimid
|
1–5
15-25
4-12
10-70
10-70
|
10-20
4-12
10-20
50-100
45-100
|
10-150
4-12
10-20
50-100
45-100
|
MANIFESTASI OBAT
ANTI EPILEPSI DI DALAM RONGGA MULUT ANAK
Dalam studi kontrol, frekuensi
manifestasi dari obat anti epilepsi dari intensitas ringan hingga sedang (0,1-1%
pada anak-anak) atau sangat jarang (kurang dari 0,1% pada anak-anak). Obat yang
paling umum digunakan dalam pengobatan epilepsi adalah karbamazepine, valproat,
fenitoin, fenobarbital, lamotrigin dan gabapentin.10Penggunaan
karbamazepine dijumpai dari pasien 3% yangmengalami gastrointestinal,
xerostomia, stomatitis atau glositis dan gingivitis.14
Manifestasi OAE dalam rongga mulut juga
ditunjukkan oleh fenitoin. Diperkirakan 13%-50% pasien mengalami pembesaran
gingiva dari efek toksik fenitoin.
Pembesaran gingiva terjadi 2-3 bulan pertama dari awal pengobatan dan
berlangsung selama 12 bulan kedepan. Pasien muda dengan kebersihan rongga mulut
yang buruk serta tingginya dosis obat mungkin mengalami efek ini. Selain
pembesaran gingiva, anak yang mengkonsumsi fenitoin kemungkinan memiliki gigi
yang lebih kecil, terlambat erupsi gigi sulung dan gigi permanen serta resorpsi
akar. Mekanisme dari pembesaran gingiva merupakan perubahan fungsi fibroblas
yang mengalami proliferasi jaringan ikat gingiva (kolagen) terutama disebabkan
oleh plak gigi.15 OAE jenis fenobarbital dan
velproat akan memberikan manifestasi berupa xerostomia, stomatitis dan
gingivitis. Jenis gabapentin diketahui menyebabkan glositis, perdarahan
gingiva, stomatitis dan hipersalivasi.16
KONDISI GIGI DAN MULUT ANAK PENDERITA EPILEPSI
Pasien dengan bangkitan epilepsi yang
tidak terkontrol dan frekuensi bangkitan tonik-klonik umum menunjukkan
kesehatan rongga mulut yang kurang dibandingkan pasien dengan bangkitan yang
terkontrol atau hanya mengalami kejang tanpa melibatkan sistem pengunyah.
Jumlah gigi berlubang, gigi hilang karena dicabut, tingkat abrasi, indeks
periodontal dan terabaikannya perawatan gigi secara signifikan ditunjukkan oleh
pasien epilepsi.17 Bangkitan yang terjadi dapat
menimbulkan trauma pada wajah serta rongga mulut pasien epilepsi.Trauma
dentofasial yang terjadi saat bangkitan berlangsung dilaporkan dapat
menyebabkan luka pada lidah, mukosa bukal (Gambar 3), fraktur wajah, avulsi
gigi, dan subluksasi sendi temporomandibular. Sebuah penelitian di Brazil,
menunjukkan trauma rongga mulut terbanyak pada pasien epilepsi adalah
terjadinya fraktur mahkota gigi (Gambar 1), kemudian avulsi gigi, luksasi gigi
(Gambar 2), fraktur gigi tiruan pada pasien yang edentulous, dan fraktur
mahkota gigi tiruan. Bangkitan tonik-klonik umum dapat menyebabkan cedera mulut
minor, seperti lidah tergigit, cedera gigi dan trauma maksilofasial.4 Cedera
yang disebabkan akibat jatuh, seperti fraktur mandibula sering terjadi pada
pasien yang mengalami kejang atonik.
Kondisi gigi dan mulut pasien epilepsi
tidak mengalami suatu kelainan khusus yang disebabkan oleh penyakit epilepsi,
melainkan karena efek samping dari mengkonsumsi obat anti epilepsi. Sebagian
besar obat anti epilepsi memiliki efek samping berupa xerostomia, seperti
karbamazepine, fenobarbital dan velproat.Hal ini menyebabkan berkurangnya self cleansing sehingga terjadi
penumpukan plak yang dapat mengakibatkan terjadinya karies. Obat anti epilepsi
yang dikonsumsi oleh pasien anak umumnya berupa sirup dan berbasis sukrosa.
Penggunan obat anti epilepsi berbasis sukrosa dalam jangka panjang dapat
menyebabkan terjadinya karies rampan pada anak (Gambar 4).20 Penggunaan
obat anti epilepsi juga mengakibatkan terjadinya aftosa rekuren berulang
seperti ulserasi (Gambar 5).21
Masalah dermatologi dapat muncul pada
pasien yang mengkonsumsi obat anti epilepsi yaitu terjadinya ruam (Gambar 7). Antara
5%-7% dari pasien yang menggunakan fenitoin dan 5% - 17% menggunakan
karbamazepin mengalami ruam. Obat anti epilepsi jenis lamotrigin diketahui
memiliki resiko tinggi yang dapat menyebabkan ruam pada anak-anak yaitu 18.2%. Sebagian besar obat anti epilepsi
menimbulkan ruam yang tidak berbahaya, tetapi ada yang menyebabkan ruam yang
serius, seperti terjadinya sindrom Steven-Johnson. Keadaan sindrom
Steven-Johnson merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang
ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta
mata dengan keadaaan umum bervariasi dari ringan hingga berat. Penyebab umum
sindrom ini berkaitan dengan respon imun tubuh terhadap obat anti epilepsi.4
PEMBAHASAN
Keberhasilan perawatan gigi pada anak
selain ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan dokter gigi juga ditentukan
oleh sikap kooperatif anak selama proses perawatan. Sebelum memulai perawatan
sangat dianjurkan untuk dokter gigi melakukan pendekatan kepada pasien anak
yang bertujuan untuk mengurangi rasa takut atau stres. Stres merupakan salah
satu faktor pencetus terpenting yang dapat menyebabkan bangkitan epilepsi. Stres
harus diminimalkan sebelum memulai perawatan. Hal ini dapat dilakukan dengan
tehnik komunikasi verbal dan non verbal yang baik. Komunikasi verbal yang baik
dapat mempengaruhi kecemasan anak. Perlu bagi dokter gigi untuk memilih kata
yang baik, seperti “mengebur” diganti dengan “membersihkan kuman”; “dianastesi”
dengan topikal anastesi diganti dengan kata “diberi vitamin”. Sedangkan
komunikasi non verbal meliputi mimik dan sikap dokter gigi, sikap ramah dan
santun selalu dilakukan agar anak merasa nyaman.22
Serangan bangkitan epilepsi dapat kambuh
secara mendadak pada saat dilakukan perawatan gigi dan mulut, maka
penanggulangan yang dapat dokter gigi lakukan yaitu menghentikan perawatan,
mengeluarkan instrumen dari mulut pasien, mengatur dental chair pada posisi terlentang,
melonggarkan pakaian pasien yang ketat, memantau pasien untuk memastikan jalan
napas tidak terhalang, tidak menahan tubuh pasien, serta tidak memasukkan jari
kedalam mulut pasien karena beresiko tergigit. Pemberian obat diperlukan pada
pasien dengan kekambuhan bangkitan yang berlangsung lebih dari 3 menit dan
berulang, jika bangkitan berlangsung lama dan berlanjut meskipun sudah diberi
obat, pasien harus dibawa ke rumah sakit.4
SIMPULAN
Penatalaksanaan perawatan gigi dan mulut
pada anak epilepsi untuk menghindari kambuhnya bangkitan saat dilakukan
perawatan. Perawatan pada pasien epilepsi tidak banyak berbeda dengan perawatan
anak normal dengan tatalaksana yang lebih komplek. Pada saat memberikan perawatan, pasien anak harus
diposisikan senyaman mungkin di atas dental
chair. Mengarahkan cahaya ke mulut anak harus dilakukan hati-hati agar
tidak terlintas di mata pasien, atau pasien dapat dibantu dengan mengenakan
kacamata. Pada
pasien dengan bangkitan yang tidak terkontrol, penggunaan anastesi umum dapat
dipertimbangkan.
Serangan bangkitan epilepsi dapat kambuh
secara mendadak pada saat dilakukan perawatan gigi dan mulut, maka
penanggulangan yang dapat dokter gigi lakukan yaitu menghentikan perawatan,
mengeluarkan instrumen dari mulut pasien, memantau pasien untuk memastikan jalan
napas tidak terhalang. Jika bangkitan berlangsung lama dan berlanjut, pasien
harus dibawa ke rumah sakit.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Buku
Ajar Neurologi Klinis. Ed. Ke-5 Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,
2011; 119-121,145-150.
2.
Mehmet,
Yaltirik, Senem, Özer, Sülün, Tonguç,
Hümeyra, Kocaelli. ‘Management of epileptic patients in dentistry’,Surgical Science, 2012; 3: 47-52.
3.
Gurbuz,
T. Epilepsy and Oral Health, Dalam Novel aspects
on epilepsy. Prof. Humberto Foyaca-Sibat, Ed. Ke-1.Intech, Rijeka, 2011; 157-170.
4.
Aragon,
C. E., Burneo, J. G.‘Understanding the patient withepilepsy and seizures in the
dental practice’, JCDA, 2007; 73(1):71-76.
5.
Udi,
R. ‘Multiple ekstraksi gigi pada anak’, Sains
Medika, 2009; 1(1):1.
6.
World
Health Organization. Oktober 25-last update, Epilepsy [Homepage ofWorld Health Organization], [Online]; 2009. Available:
http://www.who.int/mediacentre/factshets/fs999/en/ [27 Oktober 2014].
8.
Internasional
League Against Epilepsy (ILAE). ‘Proposal for revised clinical and
electrographic classification of epileptic seizures’. Epilepsia. Vol.30, no. 4; 1981;389-399.
9.
Robbins,
M. R.‘Dental management of special needs patients who have epilepsy’. Dental Clinics Of North America. Vol. 53, no. 2; 2009; 295-309.
10.
Tjahjadi,
Petrus, Dikot, Yustiani, Gunawan, Dede. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. Dalam Kapita
Selekta Neurologi, Harsono (ed.), Ed. Ke-2.Gadjah Mada University
Press. 2009; 119-132.
11.
Yayasan
Epilepsi Indonesia, Oktober 20-last update, Diet Ketogenik Sebagai Terapi
Epilepsi [Homepage of Yayasan Epilepsi Indonesia and Club Epsi], [online];
2012.Available: http://www.ina-epsy.org/2012/04/diet
katogenik-sebagaiterapi-epilepsi.html [27 Oktober 2014].
12.
Ginsberg,
Lionel. Neurologi. Penerjemah: dr.
Indah Retno Wardhani.Erlangga, Jakarta. 2008; 79-88.
13.
Sutan,
A. Pasien epilepsi dan hiperplasia
gingiva. February 22-last update, [Homepage ofBlogspot], [Online]. 2012; Avaible: http://chakraproject. blogspot.com/2012/02/file-06-pasien-epilepsi-dan
hiperplasia.html [27 Oktober 2014].
14.
Wyllie
E. The Treatment of Epilepsy. Principles
and Practice. Ed.2. 1997; 122-124. Baltimore: Williams & Wilkins.
15.
Casetta
I, Granieri E, Desiderá M, Monetti VC, Tola MR, Paolino E, et al.
‘Phenytoin-induced gingival overgrowth: a communitybased cross sectional study
in Ferrara, Italy’, Neuroepidemiologi,
vol.6, no. 6; 1997; 296-303.
16.
Jovanovic,
Svetlana, Gajić, Ivanka, Radivojević, Vlada.‘Risk factors fororal changes in
childern with epilepsy – Informative Article’, Serbian Dental Journal; (56): 1. 2009; 33-36.
17.
Karolyhazy,
K., Kivovics, P., Fejerdy, P. Dan Aranyi, Z.‘Prosthodonticstatus and
recommended care of patients with epilepsy’, J Prosthet Dent: (93): 2. 2005; 177-182.
18.
Riyanti,
Erika. ‘Penatalaksanaan trauma gigi pada
anak. 2007; 14, 16.
19.
Cameron,
Angus C., Widmer, Richard P. Handbook of
Pediatric Dentistry, Ed. Ke. 2; 2005; 148-151. Mosby., Philadelphia.
20.
Welbury,
Richard R., Duggal, Monty S., Hosey M.T. Paediatric
Dentistry,Ed.Ke-3.Oxford; 2005.
21.
Johnstone,
S.C., Barnard, K.M. dan Harrison,V.E. Recognizing and caring for the medically
compromised child: Childern
with other chronic medicalconditions,
Dent Update, vol.26, no.1; 1999;
21-26.
22.
Bakar,
A. Kedokteran Gigi Klinis. Quantum Sinergis
Media.Yogyakarta; 2011; 93, 144
Terimakasih artikelnya bagus.
BalasHapusSaya juga mau informasikan tentang obat epilepsi bila anda minat klik Terimakasih artikelnya bagus.
Saya juga mau informasikan tentang Obat Epilepsi