UJI BIOKOMPATIBILITAS ALAT FIKSASI TULANG
BERBAHAN DASAR POLIMER
BERBAHAN DASAR POLIMER
Mochammad Taha Ma’ruf
Bagian Ilmu Bedah Mulut, FKG Universitas Mahasaraswati, Denpasar
ABSTRACT
Bone
fracture fixation device have been using rigid metallic materials such as
titanium, titanium-alloy or cobalt chrome. Besides having some advantages, as
the titanium fixation devices also have disadvantages. It is challenge to develop the use of polymeric materials have good
biocompatibility and mechanical strength appropriate to have a bone fracture
fixation devices that can be absorbed by the body, such as Polyvinyl Alcohol
(PVA). The purpose of this study is to know whether the PVA-HA composite with
catgut reinforced has good biocompatibility without toxicity and
hypersensitivity effects in experimental animals. Biocompatibility testing include local cytotoxicity
and type IV contact hypersensitivity test using wistar
rats (Rattus norvegicus). Testing is done through two phases, induction or
sensitization phase is by rubbing PVA-HA composite with catgut reinforced
ointment puder on the ears. Local toxicity testing is done by implantation of
PVA-HA composite with catgut reinforced on the back catgut wistar rats. The results
showed no discoloration or induration on animal ears in all treatment and
control groups on the sensitization and
the elicitation phase. There were no
significant differences of the thickness of the wistar rats ears from all
treatment groups before and after treatment on measures 24, 48 and 72 hours (ρ
>0.05). Microscopic examination showed no infiltration of acute inflammatory
cells such as neutrophils, basophils or eusinofil and chronic inflammatory cell
infiltration such as macrophages, lymphocytes and plasma cells. It can be
concluded that the PVA-HA (60:40)composite with
catgut reinforced is a material that does not cause toxicity and
hypersensitivity in experimental animals, thus potentially be used as bone
fractures fixation material.
Keywords :
biocompatibility, bone fractures, polyvinyl
alcohol, hydroxyapatite
PENDAHULUAN
Biokompatibilitas
merupakan kemampuan suatu material untuk
berinteraksi dengan sel-sel / jaringan hidup atau sistem metabolisme yang
tidak menyebabkan toksisitas, injuri atau reaksi imun saat berfungsi pada tempat spesifik.1 Biokompatibilitas menentukan apakah bahan tersebut dapat
digunakan di
dalam tubuh, di samping sifat secara fisik
dan kimia, kemudahan proses, estetika dan harga yang
terjangkau. Secara umum, biokompatibilitas dapat diukur berdasarkan
sitotoksisitas setempat, sistemik dan kemampuan menimbulkan alergi serta
karsinogenik.2 Tujuan dari uji biokompatibilitas adalah untuk
mengetahui interaksi antara material terhadap jaringan tubuh.3 Respon inflamasi ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah
sel neutrofil terutama di bagian tepi dari jaringan yang mengalami reaksi
toksisitas,4 sedangkan reaksi atau respon imun akan terjadi apabila
terdapat penolakan terhadap bahan implan berupa reaksi hipersensitivitas.5
Alat fiksasi
patah
tulang selama ini menggunakan material dari bahan logam
seperti titanium, titanium-alloy atau cobalt chrome. Kekuatan dan
kekakuan titanium
yang terlalu tinggi dibandingkan
dengan tulang yang patah menyebabkan stimulus tulang terus menerus. Kondisi ini menyebabkan terjadinya atropi tulang di
bawah plat, yang selanjutnya menganggu pertumbuhan tulang terutama
pada anak-anak.6,7 Kekurangan lain material logam lainnya adalah bahan ini dapat terlihat atau teraba secara
visual, sekrup mudah longgar atau terlepas, sensitif terhadap suhu8,9 dan merupakan penghalang pada terapi radiasi.10,11 Penelitian
selanjutnya juga menunjukkan bahwa bahan ini
menyebabkan penyebaran ion–ion logam pada kelenjar limfe regional (lymph nodes) dan sering menimbulkan
reaksi alergi.12 Beberapa kekurangan tersebut menyebabkan perlunya dilakukan operasi sekunder untuk
pengambilan kembali alat fiksasi ini, yang
menyebabkan peningkatan waktu dan biaya perawatan.
Untuk
menghindari operasi sekunder dikembangkan penggunaan bahan polimer yang bisa
diserap tubuh,10,13 pada penelitian ini digunakan Polivinil
Alkohol (PVA). Material ini sebelumnya telah banyak
digunakan untuk menggantikan jaringan tubuh yang mengalami kerusakan atau
penyakit karena memiliki sifat fisikokemikal terutama sifat bio-tribological yang sangat baik yaitu
memiliki permukaan licin, tahan terhadap gesekan dan keausan.14,15 Bahan ini diketahui memiliki biokompatibilitas
yang sangat baik
sehingga telah digunakan pada beberapa
aplikasi biomedis seperti drug delivery,
lensa kontak, graf tulang, penutup luka dan jaringan lunak sendi lutut.16,17,18 PVA memiliki karakteristik mekanis yang
rendah, sehingga selama ini diaplikasikan hanya pada tempat yang tidak membutuhkan kekuatan mekanis
yang tinggi.
Penelitian sebelumnya19,
PVA
dikompositkan dengan beberapa material untuk
meningkatkan karakteristik mekanisnya. Penelitian tersebut menggunakan
hidroksiapatit (HA) bovine sebagai
bahan pengisi (filler), anyaman catgut (bioresorbable
suture) sebagai penguat (reinforcement), dan glutaraldehid
sebagai crosslinker. Hidroksiapatit
merupakan bahan bioaktif, osteokonduktif serta memiliki biokompatibilitas yang
baik.20 Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa komposit PVA–HA (60:40) dengan penguat catgut
memiliki kekuatan mekanis yang cukup dan stabil sebagai bahan penyambung patah
tulang.19 Tujuan
penelitian ini adalah ingin
mengetahui apakah komposit PVA–HA (60:40) dengan
penguat catgut memiliki biokompabilitas yang baik tanpa menimbulkan efek toksisitas dan
hipersensitivitas pada hewan coba, sehingga dapat digunakan sebagai bahan
penyambung patah tulang.
BAHAN DAN METODE
A.
Pembuatan Spesimen Komposit
Pembuatan spesimen dilakukan dengan cara sebagai berikut.19 Serbuk PVA dan
HA ditimbang masing-masing sesuai dengan proporsinya. PVA
dilarutkan dalam akuades dengan perbandingan 7,5% (w/v),
dipanaskan pada suhu 95 oC dengan 600
putaran permenit (rpm) selama 30 menit. Setelah PVA
larut, ditambahkan HA sesuai perbandingan kelompoknya, diaduk dengan mesin stirer dan dipanaskan pada suhu 60 oC dengan putaran 600 rpm selama 60 menit. Proses lay up dilakukan selapis demi lapis pada
cetakan yang sudah diberi lapisan anyaman benang catgut, dipanaskan menggunakan oven pada suhu 70 0C selama 15 menit. Dilakukan
proses lay up dan pemanasan
selanjutnya sampai jumlah layer dan
ketebalan yang diinginkan. Setelah cetakan
penuh, dipanaskan menggunakan oven pada suhu 70 oC
selama 2 jam. Setelah
dingin, spesimen dikeluarkan dari cetakan dan dipanaskan menggunakan oven pada
suhu 70 0C selama 2 jam.
B.
Uji Hipersensitivitas Kontak Tipe IV (Patch Tes)
Spesimen komposit PVA–HA (60:40) dengan penguat catgut
dipotong dan digerus menggunakan wadah keramik (mortal) sampai halus. Serbuk yang sudah halus ditimbang menggunakan
timbangan digital dan dicampur dengan vaselin menggunakan mortal sesuai konsentrasi masing-masing. Setelah didapatkan
konsentrasi serbuk dalam vaselin 2,5%; 5% dan 10%, salep dimasukkan dalam botol
plastik tertutup dan diberi tanda.
Jenis penelitian adalah eksperimental laboratorium in vivo. Subjek penelitian menggunakan 20 ekor tikus putih
galur Wistar
(Rattus norvegicus), jenis kelamin
betina, umur 3 bulan dan berat 200–250 gram. Rancangan penelitian terdiri dari 3 (tiga) kelompok perlakuan
dan 1 (satu) kelompok kontrol, masing-masing terdiri dari 5 (lima) ekor. Kelompok perlakuan dibedakan berdasarkan
konsentrasi komposit PVA–HA (60:40) dengan penguat catgut terhadap salep vaselin yaitu
2,5%, 5% dan 10%. Kelompok kontrol mengandung salep vaselin saja. Sampel
penelitian adalah kulit punggung dan
telinga tikus
putih galur Wistar.
Pengujian dilakukan melalui dua tahap, tahap induksi atau sensitisasi berlangsung sampai dengan 10 hari. Setelah
diistirahatkan selama 3 hari, dilanjutkan kontak tahap
kedua (elisitasi) pada hari ke 14 dan diamati pada periode 24, 48, dan 72 jam.
Tikus putih
galur Wistar (Rattus norvegicus) 20 ekor dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing terdiri dari 5 ekor. Semua hewan coba dibius dengan ketamin 0,2 cc dan
dicukur pada kulit punggungnya. Kelompok I (kontrol) diolesi bahan dasar salep (vaselin) pada kulit punggung (Gambar
1.a), kemudian dibalut dengan plester dengan lebar 2,5 cm. Kelompok II, III, IV, diolesi salep puder komposit
PVA–HA (60:40) dengan penguat catgut dengan konsentrasi berturut-turut 2,5%, 5% dan 10%, kemudian dibalut dengan plester selebar 2,5 cm. Plester dibuka setelah 10 hari. Setelah diistirahatkan selama 3 hari, kemudian pada hari ke 14 dilakukan kontak tahap
kedua (elisitasi) yaitu dengan
pengolesan salep puder komposit PVA–HA (60:40) dengan penguat catgut sesuai kelompoknya pada daun
telinga (Gambar
1.b).
Sebelum diolesi salep, dilakukan pengamatan secara makroskopis dan ketebalan
telinga diukur dengan mikrometer.
Gambar 1.
(a) Pengolesan salep pada tahap elisitasi; (b) Pengolesan
salep pada telinga luar; (c) Pengukuran telinga dengan mikrometer
Pada periode waktu 24, 48, dan 72 jam
dilakukan pengamatan makroskopis pada telinga hewan coba dan dilakukan pengukuran ketebalan telinga
menggunakan mikrometer (Gambar 1.c).
Hasil pengamatan makroskopis dicatat dengan cara pemberian skor 0–2, yaitu: 0
(tidak ada tanda merah); 0,5 (warna pink/merah muda); 1 (warna merah merata); 2
(benjolan warna merah);21 selanjutnya
dilakukan analisis data menggunakan uji
statistik ANOVA
satu jalan.
A.
Uji Toksisitas
Setempat
Uji toksisitas setempat dilakukan dengan
cara penanaman (implantasi) potongan komposit PVA–HA (60:40) dengan
penguat catgut pada kulit punggung
tikus putih galur Wistar. Selanjutnya dalam periode
waktu tertentu, bahan implan dibuka dan dilakukan pemeriksaan kulit punggung
tikus secara histologis dan diamati di bawah mikroskop cahaya.
Jenis penelitian adalah eksperimental laboratorium in vivo. Subjek penelitian
adalah 8 (delapan)
ekor tikus putih galur wistar (Rattus norvegicus). Sampel penelitian adalah kulit punggung
tikus putih galur Wistar. Rancangan
penelitian terdiri dari 1 (satu) kelompok perlakuan
dan 1 (satu) kelompok kontrol, masing-masing berjumlah 5 ekor
(lima) ekor. Kelompok
perlakuan adalah kelompok yang diimplankan potongan komposit PVA–HA (60:40) dengan penguat catgut berukuran 0,5 x 0,5 x 0,5 cm di
bawah kulit (subkutan) punggung tikus putih galur
Wistar.
Kelompok kontrol adalah kelompok tikus tanpa dipasang implan.
Lima hewan coba dibius dengan ketamin
100 mg sebanyak 0,2 ml. Kulit punggung hewan coba dicukur berukuran 2x2 cm dan
diinsisi pada bagian kulitnya. Potongan komposit PVA–HA (60:40) dengan
penguat catgut berukuran 0,5x0,5x0,5
cm dimplankan di bawah kulit (subkutan) punggung hewan coba dan dilakukan
penjahitan luka (Gambar 2.a). Setelah 5
hari, hewan coba didekapitasi. Kulit
punggung hewan coba dipotong (eksisi) berukuran 2,5x2,5 cm (Gambar 2.b) dan
di simpan dalam wadah berisi cairan fiksatif
(PBS 10% dan formalin). Selanjutnya dilakukan prosedur pemeriksaan
histologis yang meliputi pembuatan blok parafin, pengirisan dengan mikrotom dan
pewarnaan dengan hemaktosilin eosin (HE). Pengamatan slide dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya Olymphus®
dengan pembesaran 40 kali. Hasil pengamatan diproses dan ditampilkan
menggunakan optilab® viewer 2.1.
Gambar 2.
Proses uji toksisitas setempat (a) Insisi pada kulit punggung dan penanaman
implan; (b) Eksisi kulit punggung setelah 5 hari
HASIL DAN DISKUSI
1.
Uji
Hipersensitivitas Kontak Tipe IV (Patch
Test)
Pengujian dengan metode patch test dilakukan dalam dua tahap
yaitu tahap sensitisasi dan elisitasi. Tahap sensitisasi dilakukan dengan cara
kontak tahap pertama yang berlangsung sampai dengan 10 hari, dilanjutkan dengan
kontak tahap kedua (tahap elisitasi) pada hari ke 14 setelah diistirahatkan
selama 3 hari. Pengamatan dilakukan pada 24, 48 dan 72 jam setelah kontak tahap
kedua tersebut, dengan melihat adanya perubahan bentuk dan warna daun telinga
hewan coba secara makroskopis serta adanya penebalan telinga. Tabel 1
menampilkan tabulasi pengamatan secara makroskopis perubahan bentuk dan warna
telinga tikus putih pada tahap sensitisasi dan elisitasi.
Tabel 1. Pengamatan makroskopis telinga tikus putih
tahap sensitisasi dan elisitasi (n=5)
Klp
|
Hari ke 10
|
24 jam
|
48 jam
|
72 jam
|
Skor
|
Skor
|
Skor
|
Skor
|
|
P1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
P2
|
0
|
0
|
0
|
0
|
P3
|
0
|
0
|
0
|
0
|
K
|
0
|
0
|
0
|
0
|
Ket : P1(kelompok
tikus putih yang mendapat paparan salep 2,5%, P2(kelompok tikus putih yang
mendapat paparan salep 5%, P3(kelompok tikus putih yang mendapat paparan salep
10%, K(kelompok tikus putih yang mendapat paparan salep vaselin saja)
Setelah
dilakukan pengamatan secara makroskopis, dilakukan pengukuran ketebalan telinga
tikus putih dengan menggunakan mikrometer. Data ketebalan telinga yang dicatat
pada periode 24, 48, dan 72 jam setelah tahap elisitasi dibandingkan dengan
data ketebalan telinga sebelum perlakuan dan kelompok kontrol. Tabel 2
menampilkan rerata dan simpang baku ketebalan telinga tikus putih sebelum dan
sesudah perlakuan.
Tabel 2.
Rerata dan simpang baku ketebalan
telinga tikus putih sebelum dan sesudah pemaparan
salep puder
komposit PVA–HA (60:40) dengan penguat catgut (n=5)
Klp
|
Sebelum
|
24 jam
|
48 jam
|
72 jam
|
Tebal
(mm)
|
Tebal
(mm)
|
Tebal
(mm)
|
Tebal
(mm)
|
|
P1
|
0,40±0,05
|
0,43±0,05
|
0,45±0,04
|
0,45±0,01
|
P2
|
0,45±0,03
|
0,47±0,03
|
0,46±0,03
|
0,45±0,03
|
P3
|
0,43±0,02
|
0,46±0,02
|
0,47±0,01
|
0,44±0,01
|
K
|
0,44±0,06
|
0,48±0,05
|
0,47±0,05
|
0,47±0,05
|
Ket: P1(kelompok tikus putih yang mendapat paparan salep 2,5%, P2(kelompok tikus putih yang mendapat paparan salep 5%, P3(kelompok tikus putih yang mendapat paparan salep 10%,K(kelompok tikus putih yang mendapat paparan salep vaselin)
Hasil uji hipersensitivitas kontak dengan cara pengamatan
secara makroskopis menunjukkan tidak adanya
perubahan warna ataupun benjolan pada telinga hewan coba pada semua kelompok
perlakuan dan kontrol pada tahapan sensitisasi maupun tahapan elisitasi (Tabel
1). Hasil uji juga menunjukkan rerata ketebalan telinga yang
relatif sama pada semua kelompok perlakuan dan kontrol pada tahapan
sensitisasi maupun tahapan elisitasi (Tabel 2).
Uji Anava Satu Jalan menunjukkan tidak terdapat pengaruh dosis salep puder
PVA–HA (60:40) dengan
penguat catgut (2,5%, 5% dan 10%) terhadap penebalan telinga hewan coba pada pengukuran periode 24, 48 dan 72 jam (p>0,05). Hal ini menunjukkan
bahwa polimer PVA, hidroksiapatit, catgut
dan glutaraldehid secara individu atau dalam bentuk komposit tidak bersifat
imunogenik.
Hipersensitivitas kontak tipe IV adalah reaksi tipe yang
tidak diperantarai oleh antibodi tetapi oleh sel T yang bersifat spesifik
antigen. Aktivasi kelompok sel T tertentu di dalam organ limpoid akan
menyebabkan lepasnya Ag–binding factor.
Selanjutnya Ag–binding factor akan
mengaktivasi sel mast untuk
menghasilkan serotonin yang mengakibatnya naiknya permeabilitas pembuluh darah,
sehingga sel T spesifik antigen keluar dari pembuluh darah menuju jaringan.22 Pada tahap induksi, terjadi kontak antara alergen (hapten) dengan komponen
kulit. Hapten dan protein kulit berikatan membentuk komplek hapten–carrier. Molekul alergen
diekspresikan ke permukaan sel dalam bentuk ikatan dengan molekul major histocompatibility complex (MHC)
klas II yang terdapat pada antigen
presenting cells (APC).23 Selanjutnya bila terjadi kontak ulang
dengan antigen, sel T efektor yang spesifik antigen akan menghasilkan limfokin
yang bersifat kemotaktik sehingga terjadi infiltrasi sel-sel inflamasi yang
menimbulkan adanya gambaran kemerahan (erythema)
dan penonjolan (indurasi) pada tempat
terjadinya reaksi tersebut.21,22,23
Pemaparan salep puder komposit PVA–HA (60:40) dengan penguat catgut tidak menyebabkan terjadinya ikatan dengan komponen
protein pada kulit. Kondisi ini menyebabkan tidak terbentuknya kompleks hapten carrier, menyebabkan tidak
terjadinya ikatan dengan MHC klas II yang dimiliki oleh sel Langerhans epidermis. Dengan demikian,
tidak terjadi reaksi hipersensitivitas pada fase induksi ataupun fase elisitasi.
Kondisi ini menunjukkan bahwa
komposit PVA–HA (60:40) dengan penguat catgut
tidak menyebabkan reaksi hipersensitivitas kontak tipe IV pada hewan coba.
2.
Uji Toksisitas
Setempat
Uji toksisitas
setempat dilakukan dengan cara penanaman potongan komposit PVA–HA (60:40) dengan penguat catgut
pada kulit punggung tikus putih galur Wistar. Pada hari
ke-6, bahan implan dibuka dan dilakukan pemeriksaan kulit punggung tikus secara
histologis dan diamati di bawah mikroskop cahaya. Pemeriksaan yang sama juga
dilakukan pada kelompok kontrol yaitu kelompok tikus tanpa dipasang implan. Gambar 3 menampilkan
gambaran histologis
potongan jaringan kulit punggung tikus pada kelompok perlakuan dan kontrol
tersebut.
Gambar 3. Gambaran
mikroskopis jaringan kulit punggung tikus setelah implantasi (a) Kelompok Perlakuan dan (b) Kelompok Kontrol
(perbesaran
40 x)
Gambaran histologis
potongan jaringan kulit punggung tikus putih pada kelompok
perlakuan dan kontrol menunjukkan
gambaran lapisan epidermis dan dermis normal (Gambar 3).
Tidak
tampak adanya infiltrasi sel radang akut seperti
neutrofil, eusinofil dan basofil ataupun infiltrasi sel radang kronis seperti
makrofag, limposit dan sel plasma. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa komposit
PVA–HA (60:40) dengan penguat catgut
tidak menyebabkan reaksi toksisitas setempat yang ditandai dengan tidak adanya
infiltrasi sel radang.
Suatu material dapat menimbulkan efek toksik jika
material tersebut berhubungan langsung dengan sel atau jaringan sasaran.24 Material toksik harus
menembus membran yang melindungi makhluk hidup (organisme) dari pengaruh luar
untuk dapat menimbulkan suatu efek toksik. Perpindahan zat toksik dari satu
bagian tubuh dengan cara menembus beberapa membran biologik yang terjadi pada
proses absorbsi, distribusi, dan ekskresi.25 Alat fiksasi patah tulang rahang dipasang untuk
memfiksasi kedua sisi tulang yang patah, sehingga akan kontak langsung dengan
tulang pada sisi dalam dan gusi pada sisi luar. Material
yang kontak tersebut dapat menyebabkan lepasnya mediator kimia dan faktor-faktor pertumbuhan sehingga menimbulkan reaksi keradangan sekitar plat tersebut. Implantasi
material tersebut menyebabkan terjadinya reaksi tubuh terhadap benda asing, dimulai
dari respon inflamasi akut, bahkan pada
beberapa kasus dapat menyebabkan terjadinya respon inflamasi kronis, yaitu terbentuknya jaringan granulasi dan kapsul fibrus.26
Lama dan intensitas masing-masing respon ini tergantung atas luasnya
injuri yang terjadi pada implantasi, komposisi kimia material, bentuk permukaan,
porositas, kekasaran, bentuk dan ukuran implan.27
Reaksi
toksisitas akut, diawali dengan adanya respon inflamasi pada jaringan dan
secara morfologi
menunjukkan gambaran sel yang membengkak, terjadi denaturasi protein dan hidrolisis, serta hilangnya komponen
sel.28
Inflamasi berupa respon protektif tubuh terhadap trauma
atau benda asing yang berbahaya dengan gejala lima tanda radang yang ditetapkan
oleh Cornelius Celsus antara lain: yaitu sakit (dolor), panas (calor), merah (rubor),
bengkak (tumor), dan hilangnya fungsi
(functiolaesa).29,30 Tanda-tanda tersebut di atas dijumpai
pada kondisi radang akut, namun pada radang kronis bila fokus-fokus radang
sudah mulai berkurang, tanda-tanda tersebut akan menghilang.31
SIMPULAN
Dari
hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa komposit PVA–HA
(60:40) dengan penguat catgut
merupakan bahan yang biokompatibel tanpa menimbulkan
efek toksisitas
dan hipersensitivitas pada hewan coba, sehingga berpotensi
digunakan sebagai bahan penyambung patah tulang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bumgardner JD, Vasquez-Lee M,
Fulzele K, Smith D, Branch K, Christian SI. Biocompatibility
Testing. In: Williams DL. Encyclopedia of
Biomaterials and Biomedical Engineering, 2nd
ed.; 2008. h. 169–178
2. Anusavice KJ. Phillips’Science of Dental Materials, 8th
ed., St. Louis, Missouri, USA: Saunders Co.; 2003.
3. Williams D. Concise Encyclopedia of Medical and Dental Materials. United Kingdom: Pergamon Press; 1990. h. 87–93.
4. Robbins SL and Anggel M. Basic
Pathology, 2nd ed., Philadelphia: W.B. Saunders Co.; 1976, h. 21–44.
5. Roitt I, Brostoff J, and Male D. Immunology 5th ed., London: Mosby
International Limited; 1998. h. 302–348.
6. Brodke DS,
Gollogly S, Alexander, Mohr R, Nguyen BK, Dailey AT and
Bachus aK. Dynamic cervical plates: biomechanical evaluation of load sharing
and stiffness. Spine 2001; 26(12): 1324–1329.
7. Kennady MC,
Tucker MR, Lester GE and Buckley MJ. Histomorfometric
evaluation of stress shielding in mandibular continuity defects treated with
rigid fixation plates and bone grafts. Int J Oral Maxillofac Surg. 1989; 18: 170–174.
8. Goodship V dan
Jacobs D. Polyvinyl
alcohol: Materials, procesing and applications, review reports, Rapra
Review Reports 2005; 16(12): 3–24.
9. Bessho K,
Fujimura K dan Iizuka T. Experimental
long-term study of titanium ions eluted from pure titanium miniplates. J Biomed Mater
Res.
1995; 29: 901–904.
10. Mazzonetto R,
Paza AO
and Spagnoli DB. A
retrospective evaluation of rigid fixation in orthognathic surgery using a
biodegradable self-reinforced (70L:30DL) polylactide. Int J Oral Maxillofac Surg. 2004; 33: 664–669.
11. Scher N, Poe D,
Kuchmir F, Reft C, Weichselbaum R and Panje WR. Radiotherapy
of the selected mandible following stainless steel plate fixation. Laryngoscope, 1988; 98: 561–563.
12. Jorgenson DS,
Mayer MH,
Ellenbogen RG, Centeno JA, Johnson FB and Mullick FG. Detection
of titanium in human tissues after craniofacial surgery. Plast Reconstr Surg. 1997; 99: 976–979.
13. Yerit KC,
Enislidis G, Schoppe RC, Turhani D,
Wanschitz F and Wagner A. Fixation of
mandibular fractures with biodegradable plate and screw. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral
Radiol Endod. 2002; 94: 294–300.
14. Suciu AN,
Iwatsubo T and Matsuda M. A study upon
durability of the artificial knee joint with PVA hydrogel cartilage. JSME 47(1) Part C; 2004. h.
199–208.
15. Stammen S,
Williams JA and Ku DN. Mechanical
properties of a novel PVA hydrogel in shear and unconfined compression. Biomaterials 2001; 22: 799–806.
16. Pan YS, Xiong DS and Ma RY. A study on the
friction properties of poly(vinyl alcohol) hydrogel as articular cartilage
against titanium alloy. Wear 2007; 262: 1021–1025.
17. Kobayashi M,
Chang YS and Oka MA. Two
year in vivo study of polyvinyl alcohol-hydrogel (PVA-H) artificial meniscus. Biomaterials 2005; 26: 3243–3248.
18. Peppas NA and Merrill EW. Development of
semicrystalline poly(vinyl alcohol) hydrogels for biomedical application. J Biomed Mater
Res. 1997; 11: 423–434.
19. Ma’ruf T,
Siswomihardjo W, Soesatyo MHNE and Tontowi AE. Polyvinyl
Alcohol – Hydroxyapatite Composite Reinforced with Catgut Fibers as Biodegradable
Bone Plates. Prosiding pada
International Conference on Instrumentation, Communication, Information Technology
and Biomedical Engineering; 2013. Bandung,
Indonesia.
20. Suchanek W and Yoshimura MJ. Processing
and properties of hydroxyapatite based biomaterials for use as hard tissue
replacement implants, Mater Res. 1998; 13: 94.
21. Holgate ST and Church MK. Allergy. New York, USA: Gower Medical Publishing; 1993. h. 211-281.
22. Bellanti JA. Immunology III (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 1993. h. 173-202.
23. Roeslan BO. Imunologi Oral: Kelainan di Dalam Rongga Mulut. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2002.
24. Shayne CG and Christopher PC. Acute Toxicology Testing, 2nd ed. London: Academic
Press; 1998. h.
244-255.
25. Ngatijan. Toksikologi:
Racun, Keracunan, dan Terapi Keracunan. Yogyakarta: Bagian Farmakologi dan
Toksikologi Fakultas Kedokteran UGM; 2006. h. 6-44.
26. Sharma CP. Biomaterials and artificial organs: Few challenging areas. Trends Biomater.
Artif. Organs 2005; 18(2): 148–157.
27. Li Y,
Schutte RJ, Abu-Shakra A and Reichert WM. Protein
array method for assessing in vitro biomaterials-induced cytokine expression. Biomaterials. 26(10); 2005. h. 1081–1085.
28. Nicholson JW. The Chemistry of Medical and Dental Materials, R.S.C. Cambridge; 2002.
h. 186-221.
29. Sudiono J,
Kurniadi B, Hendrawan A dan Djimantoro B. Ilmu Patologi,
Sudiono J dan
Yuwono L (penterjemah). Jakarta: EGC; 2003. h. 81-96.
30. Baratawidjaya KG dan Rengganis I. Imunologi Dasar, 9th
ed., Jakarta: FKG UI; 2010.
31. Mitchell RN and Cotran RS. Acute
and chronic inflammation. In: Robbins SL and Kumar V. Basic Pathology. 7th
ed., Philadelphia: Elsevier Saunders; 2003. h.
33–59.
32. Bowless
WH, Tardy SJ, Vahadi A. Evaluation of
new gingival retraction agents. J Dent
Res 1991; 70(11): 1447–49.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar