ABSTRACT
Xerostomia or
dry mouth is one of the complaints in oral cavity, which associated with
reduced salivary flow. Many issues will appear in people with xerostomia, such
as dry mouth mucosa that can cause irritation in the oral cavity, difficulty
speaking, burning mouth, taste disturbance, increased tooth decay and plaque,
halitosis, changes in soft tissue, inflammation of periodonsium, and problems
of prosthesis. Music can be used as an alternative in improving saliva
secretion. Music that is formed through a slow tempo, repetitive rhythm, and
gentle contour will provide silent and relax atmosphere. The nerve that
dominates the state of calm and relaxed is the parasympathetic nervous system
which supplies the saliva glands, and causes the expenditure watery saliva in
large amount and enzyme rich. There were increasing saliva secretion in the
result of this research, where the mean of salivary secretion in western
classical music group before treatment was 0.087±0.007 ml/minute, and after
treatment was 0.204±0.13 ml/minute. It is recommended to patients with
xerostomia, especially in the elderly to listen the western classical music,
which can make our mind relax and also increase the salivary secretion.
Keywords : Music, salivary secretion, xerostomia
PENDAHULUAN
Salah satu keluhan di rongga
mulut yang berhubungan dengan berkurangnya aliran saliva adalah xerostomia,
yang secara harfiah berarti mulut kering. Xerostomia umumnya berhubungan dengan
berkurangnya aliran saliva dari kelenjar
saliva. Adakalanya jumlah atau aliran saliva normal tetapi seseorang tetap
mengeluh bahwa mulutnya kering. Keadaan ini dapat terjadi pada kondisi akut
atau kronis, sementara atau permanen dan kurang atau agak sempurna. Xerostomia
diperkirakan terjadi pada berjuta-juta masyarakat Amerika dan penelitian
menemukan kejadian ini pada 17–29% populasi sampel, berdasarkan laporan
perorangan atau pemeriksaan laju aliran saliva.1
Timbulnya keluhan mulut kering
tergantung dari penyebabnya, seperti terapi radiasi pada daerah leher dan kepala,
Sjogren Sindrom, penyakit sistemik, efek samping obat-obatan, stres, dan usia
lanjut.2 Keluhan mulut kering pada usia lanjut disebabkan adanya
perubahan kelenjar saliva berupa atropi sesuai pertambahan umur sehingga terjadi
penurunan produksi saliva dan sedikit perubahan komposisinya. Proses penuaan (aging) menyebabkan terjadi perubahan
dan kemunduran fungsi kelenjar saliva. Hilangnya kelenjar parenkim akan digantikan
oleh jaringan lemak dan jaringan ikat, lining
sel ductus intermediate mengalami atropi sehingga terjadi pengurangan
jumlah aliran saliva.3,4 Selain itu, penyakit-penyakit sistemik yang
diderita pada usia lanjut dan obat-obatan yang digunakan untuk perawatan
penyakit sistemik dapat menyebabkan pengaruh mulut kering pada usia lanjut.5
Diperkirakan 30% dari pasien yang berusia 65 tahun dan yang lebih tua menderita
kelainan ini.
Mulut kering yang disebabkan oleh
adanya suatu pengobatan merupakan penyebab yang paling umum ditemukan. Sebagian
besar pasien usia lanjut pernah mengalami perawatan dengan menggunakan obat
yang dapat menyebabkan hipofungsi saliva.6 Prevalensi dari
xerostomia meningkat sampai 60% pada pasien yang menerima pengobatan jangka
panjang obat psikiatri, anti hipertensi atau kelainan ginjal.7
Dewasa ini belum ada satupun
terapi xerostomia yang memadai, tetapi perawatan secara komprehensif dapat
diusahakan untuk meningkatkan kenyamanan dan fungsi rongga mulut pasien serta
mencegah meluasnya kerusakan gigi. Perawatan yang dapat dilakukan adalah dengan
cara merangsang sekresi saliva, baik dengan cara mekanis seperti mengunyah
makanan keras atau permen karet, cara kimiawi seperti rangsangan rasa asam,
manis, asin, pahit, pedas, ataupun dengan perangsangan neuronal melalui sistem
saraf otonom, baik simpatis maupun parasimpatis.8
Perawatan dengan menggunakan obat-obatan
yang dapat merangsang sistem saraf parasimpatis sudah banyak digunakan, tetapi
obat-obatan tersebut memiliki kontra indikasi dan efek samping. Pilocarpine
memiliki kontra indikasi pada pasien asma, narrow-angel
glaucoma atau iritis. Selain itu, pilocarpine juga memiliki efek samping
meningkatkan ekskresi keringat, gangguan gastrointestinal, hipotensi, rhinitis,
diare dan gangguan penglihatan. Selain pilocarpine, perawatan xerostomia dengan
menggunakan cevimeline dan anethole trithione juga memiliki berbagai kontra
indikasi dan efek samping. Penggunaan saliva buatan dinilai kurang
menyelesaikan masalah karena belum ada satupun larutan yang memiliki komposisi
yang persis sama dengan saliva. Saliva buatan juga tidak memiliki durasi yang
lama oleh karena terus-menerus ditelan.9
Salah satu dari jenis musik yang
biasa dipakai sebagai terapi dalam bidang kesehatan adalah musik klasik. Penelitian
yang dilakukan oleh Hasegawa (2010)10, musik klasik dapat
meningkatkan sekresi saliva pada partisipan dengan usia rata-rata 25 tahun,
yang sebelumnya diberikan stressor.
Jumlah sekresi saliva cenderung meningkat melalui sistem saraf parasimpatis.
Dinyatakan bahwa corticotrophin releasing
hormone (CRH) mengaktifkan sistem sympathetic-adrenal
medullary. Dengan pemberian musik akan menghambat pelepasan CRH oleh
hipotalamus, sehingga sistem saraf simpatis menjadi tidak aktif. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah musik klasik barat dapat
meningkatkan sekresi saliva penderita xerostomia usia lanjut.
BAHAN DAN
METODE
Instrumen penelitian yang
digunakan antara lain pot saliva, spuit injeksi 1 cc, CD musik klasik Mozart dengan judul ”Greatest Hits Mozart” produksi Sony
Classical, CD Player, Speaker aktif
(Beta 3), Mixer (Behringer) sebagai
alat penyambung antara CD player dan speaker aktif, Stopwatch, Soundlevel meter (Lutron SL-4001, Taiwan) untuk
mengukur kekerasan suara, alat tulis dan kamera.
Sebelum penelitian dilakukan,
sampel tidak diperkenankan untuk makan, minum maupun membersihkan rongga
mulutnya selama 30 menit. Selama pengumpulan saliva, sampel tidak diperkenankan
untuk berbicara, menggerakkan lidah, mengunyah dan melakukan gerakan penelanan.
Setelah memasuki ruang studio musik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati
Denpasar, sampel disilakan duduk dikursi yang telah tersedia. Segera setelah
sampel duduk yang nyaman dengan sandaran tegak, dilakukan pengumpulan saliva
menggunakan metode spitting, dengan
cara sebagai berikut.
Sampel duduk dengan tenang dan
diam sambil menundukkan kepala dan tangan kanan memegang pot saliva. Sampel
diinstruksikan untuk tidak menelan selama prosedur berlangsung. Sesaat sebelum
prosedur pengumpulan dimulai, sampel diharuskan menelan semua sisa saliva yang
ada di rongga mulut. Saliva dibiarkan mengumpul di dalam rongga mulut dan setiap menit saliva
yang sudah terkumpul dikeluarkan ke dalam pot saliva. Pengumpulan saliva dilakukan
selama 3 menit. Jumlah saliva yang terkumpul dalam pot saliva, kemudian diukur
menggunakan spuit injeksi dan dicatat sebagai observasi sekresi saliva sebelum
mendengarkan musik klasik barat.
Setelah saliva terkumpul, sampel
diperdengarkan musik klasik Mozart selama 13 menit yang diputar menggunakan CD Player dengan posisi sampel duduk
yang nyaman. 3 menit terakhir saat mendengarkan musik, sampel kembali disilakan
untuk mengumpulkan salivanya dengan menggunakan metode spitting, seperti penjelasan sebelumnya.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Analisis efek perlakuan
diuji berdasarkan rerata sekresi saliva antara sebelum
dengan sesudah
diberikan perlakuan. Hasil
analisis kemaknaan dilakukan dengan uji Wilcoxon Signed Ranks disajikan pada Tabel 1 berikut.
Tabel
1 Perbedaan
rerata sekresi saliva antara sebelum dengan sesudah mendengarkan musik klasik
barat
Sekresi Saliva (ml/menit)
|
Beda
Rerata
|
Z
|
p
|
|
Pre
|
Post
|
|||
0,087±0,007
|
0,204±0,13
|
0,117
|
-2,90
|
0,004
|
Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa rerata sekresi
saliva sebelum perlakuan adalah 0,087±0,007 ml/menit, rerata sesudah perlakuan adalah 0,204±0,13
ml/menit. Analisis
kemaknaan dengan uji Wilcoxon Sign Rank menunjukkan bahwa nilai Z = -2,90 nilai p=
0,004. Hal ini berarti bahwa terjadi peningkatan sekresi saliva setelah mendengarkan musik klasik barat secara
bermakna (p<0,05).
Mekanisme kerja musik dalam
meningkatkan sekresi saliva berkaitan dengan fungsi-fungsi fisiologis tubuh
terutama berkaitan dengan sistem pendengaran,
sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Musik sebagai gelombang suara
diterima dan dikumpulkan oleh daun telinga masuk ke dalam meatus akustikus eksternus hingga membrana timpani. Telinga mengubah gelombang suara di udara menjadi
gerakan-gerakan berosilasi membrana basilaris yang membengkokkan pergerakan
maju mundur rambut-rambut di sel reseptor. Perubahan bentuk mekanis
rambut-rambut tersebut menyebabkan pembukaan dan penutupan (secara bergantian)
saluran di sel reseptor, yang menimbulkan perubahan potensial berjenjang di
reseptor, sehingga mengakibatkan perubahan kecepatan pembentukan potensial aksi
yang merambat ke otak. Dengan cara ini, gelombang suara diterjemahkan menjadi
sinyal saraf yang dapat dipersepsikan oleh otak sebagai sensasi suara.11
Setelah melalui sistem
pendengaran, impuls-impuls saraf dihantarkan melalui nervus VIII (vestibulocochlearis) menuju otak. Impuls
ini masuk melalui serabut saraf dari ganglion
spiralis Corti menuju ke nukleus
koklearis dorsalis dan ventralis
yang terletak pada bagian atas medula. Pada titik ini semua serabut sinaps dan
neuron tingkat dua berjalan terutama ke sisi yang berlawanan dari batang otak
dan berakhir di nukleus olivarius
superior. Setelah melalui nukleus
olivarius superior, penjalaran impuls pendengaran berlanjut ke atas melalui
lemnikus lateralis, kemudian
berlanjut ke kolikulus inferior,
tempat semua atau hampir semua serabut ini berakhir. Selanjutnya, jaras berjalan
ke nukleus genikulatum medial, tempat
semua serabut bersinaps. Akhirnya, jaras berlanjut melalui radiasio auditorius ke korteks
auditorik, yang terutama terletak pada girus
superior lobus temporalis.12
Gambar 1
Jaras saraf pendengaran
Dari korteks auditoris yang
terdapat pada korteks serebri, jaras
berlanjut ke hipotalamus. Hipotalamus merupakan daerah otak yang berfungsi
sebagai pusat koordinasi sistem saraf otonom utama, yang kemudian mempengaruhi
kelenjar eksokrin, salah satunya adalah kelenjar saliva.11
Musik yang dibentuk melalui tempo yang lambat,
irama berulang dan kontur lembut akan memberikan suasana tenang dan santai.10
Saraf yang mendominasi pada keadaan tenang dan santai adalah sistem saraf
parasimpatis yang mempersarafi kelenjar saliva. Rangsangan parasimpatis yang
berperan dominan dalam sekresi saliva menyebabkan pengeluaran saliva encer
dalam jumlah besar dan kaya enzim. Sekresi ini disertai oleh vasodilatasi hebat
pada kelenjar, yang disebabkan oleh pelepasan lokal Vasoactive Intestinal Polypeptide (VIP). Polipeptida ini adalah kotransmiter asetilkolin pada sebagian
neuron postganglionik parasimpatis.13,14
Digunakannya musik klasik barat
pada penelitian ini, karena ada beberapa kelebihan yang terdapat dalam musik
klasik barat ini sebagai media terapi. Musik klasik barat memiliki frekuensi
nada dominan sedang sampai tinggi dan artikulasi yang jelas. Konsentrasi
pikiran manusia lebih mudah terfokus pada musik instrumen yang memiliki
frekuensi sedang (750-3000 Hz) hingga tinggi (3000-8000 Hz) terlebih lagi
apabila memiliki artikulasi musik yang jelas.15
Jumlah sekresi saliva cenderung
meningkat melalui sistem saraf parasimpatis. Dinyatakan bahwa corticotrophin releasing hormone (CRH)
mengaktifkan sistem sympathetic-adrenal
medullary. Dengan pemberian musik akan menghambat pelepasan CRH oleh
hipotalamus, sehingga sistem saraf simpatis menjadi inaktif. Dapat disimpulkan
bahwa peningkatan jumlah sekresi saliva karena sistem saraf simpatis menjadi
inaktif. Peningkatan jumlah dan laju aliran saliva juga berhubungan dengan
problem atau masalah dalam kesehatan rongga mulut serta stres psikologis.16
SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan mendengarkan musik klasik barat pada penderita
xerostomia dapat meningkatkan sekresi saliva.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Lukisari C dan
Kusharjanti. Xerostomia salah satu manifestasi oral diabetic; 2011. Available
from: www.scribd.com. Accessed March,12.2011
2. Hasibuan S. Keluhan Mulut
Kering Ditinjau dari Faktor Penyebab, Manifestasi dan Penanggulangannya; 2002. Available from: http://library.usu.ac.id. Accessed 11 November 2010
3. Sonis ST, Fazio RC, Fang L. Principles and Practice of Oral Medicine. Second Edition.
Philadelphia: Saunders; 1995.
4. Nanci A. Oral
Histology:Development, Structure, and Function. Philadelphia: Mosby; 2003.
5. Hasibuan S. Keluhan Mulut
Kering Ditinjau dari Faktor Penyebab, Manifestasi dan Penanggulangannya; 2002. Available from: http://library.usu.ac.id. Accessed 11 November 2010
6. Turner MD dan Ship JA. Dry Mouth and Its Effects on the Oral Health of Elderly People.
JADA. Vol.138. No.1; 2007.
7. Anggarini. BAB I
Pendahuluan. Available from: http://repository.usu.ac.id; 2010. Accessed
March,12.2011
8. Amerongen AVN. Ludah dan
Kelenjar Ludah; Arti Bagi Kesehatan Gigi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press; 1992.
9. Bartels CL. Xerostomia-Information
for Dentist, Helping Patients with Dry Mouth. Available from: http://www.oralcancerfoundation.org; 2005. Accessed November 11,2010
10. Hasegawa H, Uozumi T, Ono
K. Physiological
Evaluation of Music Effect for The
Mental Workload. Available from: http://www.idemployee.id.tue.nl; 2004. Accessed
5 November 2010
11. Sherwood L. Fisiologi
Manusia;dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta;EGC; 2001.
12. Guyton AC dan Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: EGC; 2008.
13. Martini FH. Fundamental
of Anatomy & Phisiology. Seventh Edition. San Francisco: Pearson; 2006.
14. Ganong WF. Review
of Medical Physiology, Ganong’s. 23rd edition. New York: The
McGraw-Hill Companies.Inc; 2010.
15. Campbell D. Efek Mozart. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka
Utama; 2002.
16. Gomes NM, Katsurayama M, Makimoto FH, Santana LLO,
Garcia EP, Becker MA, Santos MCD. Psychological
Stress and Its Influence on Salivary Flow Rate, Total Protein Concentration and
Ig A, Ig G, and Ig M Titers. NeuroImmunoModulation. Vol.17. No.6; 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar